Ikhtilaf
Dalam Masalah Ijtihad
Ikhtilaf adalah
istilah dalam kajian hukum Islam yang berarti perbedaan, perselisihan, dan
pertukaran. Alquran sebagai pedoman hidup bagi umat Islam menyebutkan kata
ikhtilaf pada tujuh ayat dan kata jadiannya pada sembilan tempat. Kata ikhtilaf
yang memiliki arti perbedaan dan perselisihan dapat dilihat pada Alquran surah
Al-Baqarah ayat 176, 213, dan 253. Kata ikhtilaf sering pula disebut dengan kata
"khilafiyah" yang memiliki arti perbedaan pandangan di antara ulama
terhadap suatu persoalan hukum. Namun demikian, khilafiyah juga dapat terjadi
pada aspek lain seperti politik, dakwah, dan lain-lain.
Para ulama
telah meneliti dalil-dalil tentang ikhtilaf, sehingga nampak jelas bahwa
ikhtilaf itu ada dua macam, masing-masing terdiri dari beberapa jenis.
IKHTILAF
TERCELA
Jenis-jenisnya
adalah sebagai berikut :
A.
Ikhtilaf yang kedua belah
pihak dicela, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ikhtilafnya
orang-orang Nashara.
فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَىٰ
يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Maka Kami timbulkan diantara
mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat” [Al-Maidah/5 : 14]
Firman Allah dalam
menerangkan ikhtilaf nya orang-orang Yahudi
وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَىٰ
يَوْمِ الْقِيَامَةِ ۚ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ
“Dan Kami telah timbulkan
permusuhan dan kebencian diantara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka
menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya” [Al-Maidah/5 : 64]
Demikian juga ikhtilaf nya
ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan ahlul bid’ah dalam hal-hal yang mereka
perselisihkan. Allah berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ
مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang
yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan,
tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka” [Al-An’am/6 : 159]
Juga termasuk kedalam
ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf antara dua kelompok kaum muslim dalam
masalah ikhtilaf tanawwu’ (fariatif) dan masing-masing mengingkari kebenaran
yang dimiliki oleh kelompok lain.
B.
Ikhtilaf yang salah satu
pihak dicela dan satu lagi dipuji (karena benar).
Ini disebut dengan ikhtilaf tadhadh (kontradiktif) yaitu salah satu dari dua pendapat adalah haq dan yang satu lagi adalah bathil. Allah telah berfirman.
Ini disebut dengan ikhtilaf tadhadh (kontradiktif) yaitu salah satu dari dua pendapat adalah haq dan yang satu lagi adalah bathil. Allah telah berfirman.
وَلَٰكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ
كَفَرَ ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا
“Akan tetapi mereka
berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) diantara
mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka
berbunuh-bunuhan” [Al-Baqarah/2 : 253]
Ini (ayat di atas) adalah
pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan kekufuran. Adapun pembeda antara
al-haq (kebenaran) dengan bid’ah adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits iftiraq.
“Artinya : Kaum Yahudi
terpecah menjadi 71 firqah (kelompok), kaum Nashara menjadi 72 firqah, dan
ummat ini akan terpecah menjadi 73 firqah, semuanya (masuk) didalam neraka
kecuali satu. Ditanyakan : “Siapakah dia wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab :
“orang yang berada diatas jalan seperti jalan saya saat ini beserta para
sahabatku” dalam sebagian riwayat : “dia adalah jama’ah” [Lihat “Silsilah
Ash-Shahihah 204 Susunan Syaikh Nashiruddin Al-Albani]
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa semua firqah ini akan binasa, kecuali yang
berada diatas manhaj salaf ash-shaleh. Imam Syathibi berkata : “Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [illa waahidah] telah menjelaskan
dengan sendirinya bahwa kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Seandainya
kebenaran itu bermacam-macam, Rasul tidak akan mengucapkan ; [illa waahidah]
dan juga dikarenakan bahwa ikhtilaf itu di-nafi (ditiadakan) dari syari’ah
secara mutlak, karena syari’ah itu adalah hakim antara dua orang yang
berikhtilaf. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (Sunnahnya)”. [An-Nisaa/4 : 59]
IKHTILAF
YANG BOLEH
Ikhtilaf yang diperbolehkan Ini juga ada dua
macam yaitu :
a.
Ikhtilafnya dua orang mujtahid
dalam perkara yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya.
Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah berfirman.
Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah berfirman.
هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ
“Artinya : Dia (Allah) sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [Al-Hajj : 78
Diantara
rahmat ini adalah tidak memberikan beban dosa kepada seorang mujtahid yang
salah bahkan ia mendapatkan pahala karena kesungguhannya dalam mencari hukum
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman.
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ
“Artinya : Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu salah padanya” [Al-Ahzab : 5]
Dari
Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ
أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.l
“Artinya : Apabila ada seorang
hakim mengadili maka ia berijtihad, lalu ia benar (dalam ijtihadnya) maka ia
mendapatkan dua pahala, apabila ia mengadili maka ia berijtihad, lalu ia salah
maka ia mendapatkan satu pahala” [Hadits Riwayat Imam Bikhari]
b.
Ikhtilaf Tanawwu
Contohnya
adalah ikhtilaf sahabat dalam masalah bacaan (Al-Qur’an) pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :”Saya mendengar seseorang
membaca ayat yang saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam membacanya berbeda dengan orang itu, maka saya pegang tangannya lalu
saya bahwa kehadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya laporkan
hal itu kepada beliau, namun saya melihat tanda tidak suka pada wajah beliau,
dan beliau bersabda.
“Artinya : Kalian berdua bagus (bacaannya), jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa”.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang orang-orang yang bertaklid kepada
sebagian ulama dalam masalah ijtihad, apakah harus dingkari dan dijauhi? Beliau
menjawab: “Alhamdulillah, dalam masalah-masalah ijtihad, barang siapa mengamalkan
pendapat ulama tidak boleh diingkari atau dijauhi. Dan barang siapa mengambil
salah satu dari dua pendapat juga tidak boleh dingkari, jika dalam sebuah
masalah ada dua pendapat. Apabila seseorang mengetahui ada salah satu dari dua
pendapat yang lebih rajih, maka hendaklah ia mengamalkannya, jika tidak maka
dibolehkan dia bertaklid terhadap beberapa ulama yang bisa dijadikan rujukan
untuk menjelaskan pendapat yang lebih rajih diantara dua pendapat, wallahu’alam.”
(Majmu’ah Al Fatawa, vol. 20, hal. 115)
Beliau
berkata di tempat lain:”Adapun ikhtilaf dalam permasalahan hukum, bisa lebih
banyak lagi. Seandainya saja jika dua orang muslim ikhtilaf dalam suatu masalah
dan keduanya saling menjahui maka tidaklah tersisa dari umat
ini kemaksuman dan persaudaraan…” (Majmu’ah Al Fatawa, vol. 24, hal 96).
Syaikhul
Islam dalam Khilaf Al Ummah fi Al Ibadat wa Madzhab Ahlu As Sunnah juga
menyebutkan Imam Ahmad yang berpendapat bahwa membaca basmalah dalam shalat
tidak perlu dengan jahr. Akan tetapi beliau membaca basmalah dengan jahr jika
shalat di Madinah, karena penduduknya membaca basmalah dengan jahr. Qadhi Abu
Yu’la Al Fara’ menjelaskan bahwa Imam Ahmad melakukan hal itu dalam rangka
menjaga ukhuwah (Risalah Ulfah, hal. 48).
Larangan
Berpecah-Belah
Salah satu penyebab
perpecahan umat adalah imtihan (menguji) dengan penisbatan yang tidak
berdasarkan nash. Seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah, yaitu dengan
mengatakan kepada seseorang:”Kamu Shukaily atau Qarfandi?” Maka jika seseorang
ditanya dengan pertanyaan seperti itu, jawabnya adalah:”Saya bukan Shukaili
atau Qarfandi, akan tetapi saya muslim yang mengikuti Kitabullah dan sunnah
rasul-Nya.”
Sebagaimana
diriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas ditanya oleh Muawiyah:”Kamu mengikuti millah Ali
atau millah Utsman?” Beliau menjawab: “Saya tidak mengikuti millah Ali ataupun
Utsman, akan tetapi saya mengikuti millah Rasulullah shalallahu’alaihi
wasalam.”
Begitu juga
tidak diperbolehkan imtihan (menguji) dengan penisbatan yang sudah umum dipakai
para ulama, seperti penisbatan kepada Imam (Al Hanafi, Al Maliki, As Syafi’i
atau Al Hambali), yaitu dengan mengatakan: “Kamu Hanafi atau Maliki?” Juga
penisbatan kepada guru ( Al Qadiri atau Al ‘Adawi), atau qabilah (Al Qaisi atau
Al Yamani), atau negeri (Al Iraqi, Al Mishri atau As Syami). Juga tidak boleh
berloyalitas atas nama-nama ini dan tidak pula menyakiti mereka yang bernisbah
kepadanya. Adapun yang paling muliya di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa,
tidak pandang dari thaifah mana pun dia (Lihat, Majmu’ah Fatawa, vol. 3, hal.
255).
Loyalitas
Tidak Didasari Atas Penisbatan
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah-rahimahullah- mengatakan: “Allah telah memberi kabar, bahwa
orang mukmin memiliki loyalitas kepada Allah, rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya
yang mukmin. Mukmin di sini bersifat umum, barang siapa beriman maka dia
disifati dengan sifat ini. Baik mereka yang menisbahkan diri, atas negeri,
madzhab, thariqah atau yang tidak menisbahkan diri. Allah telah berfirman:”Dan
laki-laki yang beriman serta perempuan yang berimana, sebagian mereka menjadi
penolong sebagian yang lain.”(At Taubah: 71).
Ibnu
Taimiyah juga menyebutkan beberapa hadits, salah satunya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Permisalan orang-orang mukmin dalam kecintaan,
kasih dan sayang atas sesama mereka seperti satu tubuh, jika salah satu
dari anggota badan sakit maka seluruh badan ikut demam susah tidur.” (Lihat, Majmu’ah
Al Fatawa, vol. 3, hal. 257)
Tawadhu’
Ibnu Taimiyah Kepada Ulama Madzhab Lain
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah tidak hanya cukup berfatwa, lebih dari itu, amalan beliau
mencerminkan apa yang beliau katakan. Ibnu Taimiyah tetap bisa bersikap
obyektif kepada para ulama lain walaupun mereka berbeda pendapat atau madzhab.
Meskipun beliau dalam banyak hal mengambil pendapat Madzhab Hambali akan tetapi
beliau memiliki beberapa murid yang bermadzhab lain, seperti Ibnu Katsir (774
H) dan Imam Ad Dzahabi (748 H), keduanya bermadzhab Syafi’i.
Antara Ibnu
Taimiyah dan Taqiyuddin As Subki (756 H) yang bermadzhab Syafi’i sering saling mengkritik
lewat karya masing-masing, akan tetapi Ibnu Taimiyah tetap memuji karya-karya
Taqiyuddin As Subki, dan beliau tidak memberi penghormatan kepada orang lain
sebagaimana beliau menghormati Taqiyuddin As Subki (lihat, Tabaqat Asyafi’yah
Al Kubra, vol.10, hal. 194).
Yang juga
perlu dicontoh dari Ibnu Taimiyah adalah sifat tawadhu’ beliau terhadap
‘Alauddin Al Baji (724 H), salah satu ulama madzhab Syafi’i yang mempunyai
majelis perdebatan. Suatu saat mereka berdua bertemu, dan Al Baji berkata
kepada Ibnu Taimiyah: ”Bicaralah, kita membahas permasalahan denganmu.” Akan
tetapi Ibnu Taimiyah menjawab:”Orang sepertiku tidak akan berbicara di hadapan
anda, tugasku adalah mengambil faidah dari anda.” (Tabaqat As Syafi’iyah Al
Kubra, vol. 10, hal. 342)
Nasehat
Ibnu Taimiyah
Syikhul
Islam –rahimahullah- mengatakan: “Perpecahan umat yang telah menimpa para
ulama, para masyayikh, umara’, serta para pembesarnya merupakan penyebab
berkuasanya musuh atas mereka. Dan itu disebabkan karena mereka telah
meninggalkan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya…”
Di tempat
lain dijelaskan, bahwa Allah berfirman:”Dan hendaklah ada dari antara kamu satu
golongan yang mengajak kepada kebaikan dan menyeru kepada hal yang ma’ruf serta
melarang hal yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh
kemenangan.” Ibnu Taimiyah mengatakan:”Amar ma’ruf adalah memerintahkan untuk
bersatu dan berkumpul adapun nahi mungkar adalah menegakkan hudud dengan
Syari’at Allah.” (Lihat, Majmu’ah Al Fatawa, vol. 3, hal. 259).
Maka,
marilah kita rapatkan shaff, kikis rasa ta’ashub pada diri kita, juga prasangka
buruk terhadap yang lain, juga perasaan bahwa diri kita selalu dalam kebenaran
dan yang lain selalu berada dalam kebathilan, juga klaim bahwa hanya kita yang
memahami dien sedangakan yang lain hanyalah juhala’ yang tidak perlu
didengarkan. Wallahu’alam bishowab.
No comments:
Post a Comment