PENDIDIKAN ISLAM
DALAM
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
A.
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk multi dimensi, satu-satunya
makhluk yang paling sempurna, mulia dan memiliki keunggulan dibanding
makhluk-makhluk lainnya (QS. At-Tin: 4). Kesempurnaan, kemuliaan dan keunggulan
manusia terletak pada bentuk dan unsur kejadiannya sejak ia diciptakan Allah
yang terdiri dari unsur-unsur jasmani (physic), rohani (spirit)
dan jiwa (psyche, mental), yang dari unsur-unsur tersebut kemudian ia
diberi sumber daya (potency) dan kemampuan (capacity) untuk
menerima bimbingan dan pendidikan (QS. Al-Ala’: 2-3), merespon informasi serta
mengaktualisasi diri (QS. Al-An’am: 104). Allah ‘Azza wa jalla menciptakan
manusia dengan beberapa kelengkapan dan atribut tersebut bukan sekedar
aksesoris, melainkan ada tujuan-tujuan tertentu (QS. Shad: 27) yaitu untuk
semata-mata mengabdi kepada-Nya (QS. Adz-Dzariyat: 56) tanpa
mempersekutukan-Nya (QS. An-Nur: 55).
Konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu
sistem pemikiran dan di dalam kerangka berpikir seorang pemikir.[1]
Konsep manusia menjadi penting karena ia termasuk sebagian dari pandangan
hidup. Karena itu, meskipun manusia tetap diakui sebagai misteri yang tidak
pernah dapat dimengerti secara tuntas, keinginan untuk mengetahui hakikatnya
ternyata tidak pernah berhenti.
Oleh karena itu manusia sejak di dalam arwah sudah
mengakui bahwa Allah sebagai Tuhannya (QS. Al-A’raf: 172) dan bersedia
mengemban amanat Allah berupa tugas-tugas keagamaan (QS. Al-Ahzab: 72) dimana
makhluk-makhluk lain tidak sanggup untuk mengembannya, maka dipilihlah manusia
sebagai khalifah di muka bumi yang menguasai, mengelola, dan memanfaatkan
segala apa yang ada di dalamnya untuk sebesar-besar kesejahteraan hidupnya (QS.
Al-Baqarah: 29).
Pandangan tentang manusia berkaitan erat dan bahkan
merupakan bagian dari sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan adalah landasan
moral manusia, yang akhirnya akan memperlihatkan corak peradaban yang dibangun
di atasnya. Pentingnya arti konsep manusia di dalam sistem pemikiran dan
kerangka berpikir seorang pemikir, terutama sekali adalah karena hakikat
manusia adalah subyek yang mengetahui.[2]
Oleh karena itu, konsep manusia penting bukan demi pengetahuan akan manusia itu
saja, tetapi yang lebih penting adalah karena ia merupakan syarat bagi
pembenaran kritis dan landasan yang aman bagi pengetahuan-pengetahuan manusia.[3]
Untuk itu, maka semua yang ada di langit, bumi dan lautan dijadikan Allah
tunduk kepada manusia (QS. Al-Jatsiyah: 12-13) dan berkenaan mempusakakan bumi
ini kepada hamba-hamba-Nya yang shalih (QS. Al-Anbiya’: 105).
Dengan sumber daya dan kemampuan yang telah dikaruniakan
Allah, maka sebagian manusia ada yang dapat memahami statusnya sebagai khalifah
di muka bumi, sehingga ia dapat mengelola dan memakmurkan bumi sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Allah, yang didesain semata-mata demi mengabdi (beribadah)
kepada-Nya. Dan sebagian manusia juga dapat memanfaatkan sumber daya dan
kemampuan yang dimilikinya untuk mengelola bumi dan segala isinya, bukan sebagai
karunia dari Allah melainkan semata-mata dari hasil usahanya sendiri. Bahkan
sumber daya yang dimiliki dan sumber daya alam (resources) dipergunakan
untuk kepentingan umum, untuk kepentingan umat, padahal justru menyengsarakan
dan dengan dalih perdamaian, padahal hakekatnya merusak dan menjadikannya
semakin lama semakin jauh menyimpang dari ketentuan Allah Khaliq Al-‘Alam.
Fakta membuktikan bahwa yang berhasil mengelola dan mewarisi bumi ini bukanlah
umat Islam, melainkan orang-orang non-Muslim karena mereka memiliki sumber daya
teknologi.
Di sisi lain, manusia dalam merealisasikan perannya
sebagai khalifah di bumi tak selamanya berjalan lancar, banyak kendala yang
harus diatasi. Manusia dihadirkan Allah di muka bumi ini adalah untuk
memecahkan dan menyelesaikan masalah-masalah kehidupan (QS. Al-Balad: 4) dari
kecil sampai besar, dari masalah yang sederhana sampai yang rumit. Tidak semua
diinginkan manusia berhasil dengan usahanya. Bila Allah tidak menginginkannya
ada sebagian dari mereka yang gagal.[4]
Dalam hal ini, penajaman daya berpikir diperlukan supaya manusia, pada tingkat
tertinggi kemampuannya dapat berhubungan langsung dengan al-‘aql al-fa’al
(akal aktif) yang merupakan sumber pengetahuan. Penajaman daya berpikir ini
ditemukan dalam setiap epistemologi para filosof Islam seperti al-Kindi (w. 875
M), al-Farabi (w. 950 M) dan Ibn Sina (w. 1087 M) (Boer, t.t. 102, 120, 137,
Thawil, 1958: 106).
Dalam al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang
membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya.[5]
Dalam hal ini Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa “tak ada makhluk Allah yang lebih
bagus daripada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehandak,
berbicara, melihat, mendengar, berpikir, dan memutuskan. Manusia adalah makhluk
kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawa dan
syarat-syarat yang diperlukan bagi pengembangan tugas dan fungsinya sebagai
makhluk Allah di muka bumi.[6]
Para ahli pendidikan Muslim umumnya sependapat bahwa
teori dan praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang
manusi.[7]
Pembicaraan diseputar ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam
pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan akan meraba-raba.
Bahkan menurut Ali Ashraf, pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara
jelas tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam tentang pengembangan individu
seutuhnya.[8]
B.
Pendidikan Islam Dan Pengembangan Kualitas SDM
1.
Pendidikan Islam
Keberadaan pendidikan sama tuanya dengan keberadaan
manusia itu sendiri. Pendidikan yang diterima manusia mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu mulai dari bentuknya yang sederhana sampai yang modern,
sesuai juga dengan perkembangan dari sosial budaya.[9]
Pendidikan juga melibatkan sosok manusia yang senantiasa dinamis, baik sebagai
peserta didik, pendidik maupun penanggung jawab pendidikan.[10]
Pendidikan juga merupakan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keteranpilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[11]
Pendidikan Islam lebih banyak ditujukan kepada perbaikan
sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri
sendiri maupun orang lain. Dari segi lainnya, pendidikan Islam tidak memisahkan
antara iman dan amal shaleh.[12]
Pendidikan adalah proses pengalaman yang menghasilkan pengalaman yang
memberikan kesejahteraan pribadi, baik lahiriyah maupu badaniyah.[13]
Pemahaman tentang pendidikan Islam dapat diawali dari
penelusuran pengertian pendidikan Islam, sebab dalam pengertian itu terkandung
indikator-indikator esensial dalam pendidikan. Upaya penelusuran pengertian
pendidikan Islam kiranya tepat apabila kita menggunakan metodologi semaptik
yang ditawarkan oleh Izutsu. Menurut Izutsu, terdapat tiga prosedur untuk
menggali hakikat sesuatu dari Al-Qur’an: (a) memilih istilah-istilah kunci (key
terms) dari vocabulary Al-Qur’an yang dianggap sebagai unsur konseptual dari
weltanscauung dari Al-Qur’an. Istilah kunci yang dimaksud seperti tarbiyah,
ta’lim, riyadhah, irsyad, dan tadris. (b) menentukan makna pokok (basic
meaning) dan makna nasabi (relation meaning). Makna pokok berkaitan
dengan makna semantik atau makna etimologi (lughawi), seperti kata
tarbiyah (pendidikan) seakar dengan dengan kata rabb (Tuhan) yang berarti
memelihara. Sedang makna nasabi berkaitan dengan makna tambahan yang terjadi
karena istilah itu dihubungkan dengan konteks di mana istilah itu berada,
seperti perbedaan makna tarbiyah dalam konteks tertentu pada surat al-Isra’
ayat 24 dan Asy-Syuara’ ayat 18. (c) menyimpulkan weltanshauung dengan
menyajikan konsep-konsep itu dalam satu keutuhan. Penyimpulan ini lazimnya
melahirkan pengertian terminologi atau istilah dalam pendidikan Islam.[14]
Dalam Islam, term “tarbiyah”, “ta’lim”, “ta’dib”
sering diartikan sebagai “pendidikan secara totalitas”. Oleh karena itu ketiga
term tersebut harus difahami secara bersama-sama agar tidak menimbulkan suatu
pengertian baru atau pengertian yang berada antara satu dengan lainnya.
Agar dalam pelaksanaan pendidikan Islam dapat
menghasilkan sesuatu sesuai dengan harapan, maka pendidikan tersebut harus
berpijak pada sumber atau landasan yang kuat yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi
Muhammad SAW, Qaul Sahabat, kemaslahatan masyarakat, nilai-nilai dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakt, dan pemikir-pemikir Islam.[15]
Sumber-sumber tersebut dapat dipakai sebagai dasar pijak
pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, terutama umat Islam yang
kondisi sumber daya manusianya masih kurang memenuhi harapan.
2.
Pengembangan Kualitas SDM
Manusia adalah makhluk mulia, makhluk unggulan dan serba
biasa, keunggulan manusia tersebut karena ia memiliki sumber daya yang tidak
dimiliki oleh makhluk lain. Sumber daya manusia (SDM) adalah potensi dasar yang
ada pada diri manusia sendiri sejak manusia itu diciptakan Allah, guna
dimanfaatkan dan dikembangkan sesuai dengan petunjuk-Nya. Sumber daya manusia
siap pakai, melainkan hanya potensi dasar yang perlu dikembangkan sampai
potensi atau sumber daya itu optimal dan siap pakai. Sebagaimana firmannya:
“(Tuhan) yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan menentukan
kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” (QS. Al-Alaa’: 2-3). “dan Dia telah
menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya (QS. Al-Furqan: 2).
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa segala apa yang
diciptakan Allah termasuk manusia telah diberi kelengkapan-kelangkapan,
kesiapan-kesiapan sesuai dengan naluri, sifat-sifat, potensi dan kapasitasnya
serta fungsi masing-masing kelengkapan yang diperlukan dalam kehidupan itulah
sumber daya manusia.
Manusia diciptakan Allah dengan struktur dan bentuk tubuh
yang hanya dapat tumbuh dan dapat dipertahankan hidupnya dengan bantuan
makanan. Allah memberi petunjuk kepada manusia tentang perlunya makanan untuk
memberi daya tahan pada tubuh dan memberikan kesanggupan pada manusia untuk
mendapatkan makanan itu. Untuk memperoleh makanan tersebut dibutuhkan alat
untuk dapat membuat dan memproses makanan itu sesuai dengan keterampilan yang
dimilikinya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang lebih banyak, maka
diperlukan kerjasama dengan yang lain (ta’awun). Dan untuk
mempertahankan eksistensinya dari serangan musuh, maka Allah memberikan kepada
manusia kesanggupan pada akalnya untuk berfikir dan pada tangannya untuk
bekerja sebagai keahlian dan dari keahlian itu menghasilkan peralatan dan
persenjataan untuk mempertahankan dirinya. Agar pertahanan diri tersebut lebih
efektif, maka dibentuklah kerjasama yang baik dalam bentuk organisasi
masyarakat, karena tanpa kerjasama yang terorganisir, maka tujuan yang baik
tidak akan bisa dicapai, bahkan tujuan baik tersebut dapat digagalkan oleh
tujuan jahat yang terorganisir dengan rapid dan solid menjadikan organisasi itu
berwibawa dan kalau sudah berwibawa akan memiliki kedaulatan yang kuat. Itulah
sumber daya manusia dan dengan sumber daya itulah kemudian Allah menunjukkan
manusia sebagai khalifah yang diharapkan dapat memakmurkan bumi.
Dengan demikian, maka sumber daya manusia menurut Islam
adalah segenap daya yang ada dalam diri manusia yaitu jasmani, akal, hati dan
nafsu yang kualitasnya dapat diukur dengan kualitas fisik, daya nalar,
keteguhan iman, keterampialn dan keshalehan amaliah, nafsu mardhiyah dan
keutamaan moral (akhlak karimah), itulah “Ibaad Shaalihuun”.
C.
Peningkatan Kualitas SDM
Kualitas sumber daya manusia merupakan unsur yang penting
dalam usaha mencapai harapan “fi al dunya hasanah wa fi al akhirati hasanah”.
Dalam pengembangan kualitas SDM tersebut, terasa betapa pentingnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, keimanan dan ketaqwaan.
Jika peningkatan SDM itu intinya adalah peningkatan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka dalam hal ini yang ditingkatkan adalah akal
kreatif, daya nalar atau intelektualitasnya. Dan agar supaya ilmu pengetahuan
dan teknologi tersebut lebih bermakna, baik dalam konteks kepentingan duniawi
maupun dalam konteks pengabdian kepada Allah, dan agar ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut tidak menjadi liar dan tak terkendali, maka harus dibingkai
dengan iman dan takwa.
Dalam peningkatan kualitas iman dan takwa, maka yang
ditingkatkan adalah pembinaan hati dan anggota badan lainnya, karena takwa
membutuhkan pelaksanaan yang bersifat fisik. Kualitas ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan kualitas iman dan takwa harus seimbang dan peningkatan kualitas
keduanya harus berjalan seiring.
Kelemahan umat Islam dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, mengakibatkan ketertinggalan dalam segala bidang, tertinggal dari
percepatan laju ekonomi dan peradaban dunia serta terpuruk di tengah-tengah
pusaran globalisasi dunia, bahkan bisa menjadi bola permainan dunia. Sebaliknya
jika kualitas sumber daya umat Islam baik dan potensial, memiliki kerjasama
yang solid dan kuat, memilki keunggulan duniawiyah, ikhlas dalam segala
tindakan dan teguh memegang peraturan Allah, maka umat Islam akan menjadi umat
yang berwibawa dan menjadi ikutan bagi masyarakat dunia.
Daya nalar manusia perlu dilatih sedikit demi sedikit
samapai mencapai kualitas yang diharapkan. Tahap pertama nalar manusia dilatih
untuk dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang haq
dengan yang batil, antara yang mashlahah dengan yang mafsadah dan sebagainya.
Tahap ini disebut dengan “al ‘aql al tamyiz” (akal pembeda).
Selanjutnya sumber daya yang ada dalam diri manusia
sendiri berupa jasmani, akal hati dan jiwa kualitasnya dapat meningkat
terus-menerus kearah yang lebih optimal apa bila ada pengaruh dari luar
dirinya, yaitu hidayah dan pendidikan. Dengan hidayah dari Allah, yang bersifat
sirriyah dapat menjadikan akal seseorang memperoleh ilham atau inspirasi yang
baik, hati seseorang semakin teguh, keimanan semakin mantap, jiwa semakin
tenang dan amaliah semakin baik, gagasan semakin banyak, keterampilan semakin
professional dan kemampuan fisik semakin baik.
Pendidikan yang dapat meningkatkan sumber daya yang ada
pada diri manusia harus ditunjang oleh beberapa faktor, antara lain:
1.
Mengoptimalkan fungsi
pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam menyiapkan tenaga kerja
terdidik, terampil, terlatih, dalam menyiapkan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan dalam meningkatkan iman dan takwa.
2.
Menyusun kurikulum dengan
muatan pelajaran yang dapat meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan dan
teknologi iman dan takwa
3.
Menyediakan waktu yang
cukup untuk pelatihan, pemecahan masalah, eksperimen, eksplorasi dan observasi
(QS. Al-A’raf: 86; Ali Imran: 137)
4.
Mendorong berdirinya
sekolah-sekolah non formal yang mengarah kepada penguasaan ketrampilan khusus
yang dibutuhkan masyarakat dan industri
5.
Mendirikan balai-balai
latihan untuk mereka yang memerlukan magang
6.
Mendirikan
padepokan-padepokan dalam lingkungan komunitas sosial untuk berlatih dan
membantu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
7.
Memasukkan pesantren ke
dalam sistem pendidikan nasional yang memiliki otonomi penuh.
8.
Mengembangkan standar
professional guru dalam rangka peningkatan kualitas SDM.
9.
Mendorong penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan perspektif etis dan panduan moral guna
terwujudnya percepatan transformasi masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Mengkoordinasi
SDM dan mengidentifikasi SDM untuk mencapai tujuan dengan jalan membentuk
organisasi.
10.
Peningkatan relevansi
pendidikan dengan kebutuhan pembangunan, masyarakat dan industri.
11.
Menciptakan sistem
pendidikan yang pro aktif dan lentur sebagai kerangka dasar konsep “Link and
Match” keterkaitan dan kesepadanan antara dunia pendidikan dengan dunia
industri.
12.
Menyelenggarakan
pendidikan sistem ganda dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja berkualitas,
yaitu bentuk penyelenggaran pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan yang
memadukan secara sistematis dan sinkron antara program pendidikan di sekolah
dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui praktek langsung di
dunia kerja sehingga peserta didik akan memiliki tingkat professional yang
sambung dengan dunia kerja yang dibutuhkan.[16]
Itulah beberapa konsep yang dikemukan para ahli dalam
rangka pengembangan kualitas SDM khususnya di Indonesia. Konsep-konsep tersebut
apabila dilaksanakan dengan baik niscaya akan menghasilkan SDM yang berkualitas
sesuai yang diharapkan oleh pendidikan Islam.
D.
Hambatan Dan Tantangan
1.
Hambatan dalam peningkatan SDM
Upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas SDM
yang berdaya saing tinggi, berwawasan ilmu pengetahuan dan teknologi, bermoral
dan berbudaya yang dibingakai iman dan takwa bukanlah suatu pekerjaan yang
ringan dan mudah, karena dunia pendidikan nasional khususnya pendidikan Islam
masih menghadapi berbagai masalah internal yang cukup mendasar dan sangat
kompleks.
Pendidikan di Indonesia masih banyak menghadapi masalah
yang berantai mulai dari pendidikan tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Rendahnya kualitas pendidikan dasar jika tidak segera diatasi, akan berpengaruh
negatif terhadap jenjang pendidikan diatasnya samapai ke perguruan tinggi,
pendidikan dasar adalah tahapan yang kritis terbentuknya watak dan kepribadian
peserta didik. Oleh karena itu pada pendidikan dasar merupakan saat yang paling
tepat untuk menumbuh kembangkan moral hidayah iman dan takwa sebagai landasan
yang kuat bagi perkembangan berikutnya.
Pendidikan internal yang dihadapi dunia pendidikan di
Indonesia, khususnya pendidikan Islam antara lainL
a.
Rendahnya penerapan
kesempatan belajar yang disertai dengan banyaknya peserta didik yang putus
sekolah dan banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, hal ini terkait erat dengan masalah kemiskinan dan kesadaran
orang tua terhadap pendidikan anaknya.
b.
Rendahnya mutu akademik
terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam, matematika, dan bahasa inggris,
padahal materi pelajaran tersebut merupakan modal dasar bagi kemampuan dan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga rendahnya penguasaan
bahasa Arab di lingkungan pendidikan agama, padahal bahasa Arab dalam rangka meningkatkan
kualitas iman dan takwa.
c.
Rendahnya efisiensi
internal pendidikan karena banyak pesera didik yang mengulang kelas, sehingga
lama studi melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Untuk program sarjana
satu rata-rata penyelesaiannya selama 5,5 tahun (11 semester), padahal hal
ketentuan yang berlaku 4 tahun atau 8 semester.
d.
Rendahnya efisiensi
eksternal sistem pendidiken atau relevansi pendidikan. Hal itulah yang
seringkali dipermasalahkan sebagai penyebab terjadinya pengangguran tenaga
terdidik sebenarnya bukan semata-mata karena rendahnya relevansi pendidikan,
akan tetapi juga karena perkembangan dunia usaha didominasi oleh
pengusaha-pengusaha besar yang mempunyai kecenderungan mengutamakan padat modal
dan teknologi yang tidak banyak membutuhkan tenaga kerja. Yang demikian ini
menyebabkan banyak tenaga kerja yang tidak terserap, ditambah lulusan setiap
tahun semakin meningkat.
e.
Dilibatkan dari segi
konsep pendidikan kejuruan modal konvensional terdapat kelemahan-kelemahan,
yaitu; penerapan pendekatan “supply driven” dinamika totalitas penyelenggaraan
pendidikan kejuruan dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, dalam hal ini
Depdiknas dan pengelolaannya terlalu sentralisti; penerapan pendekatan “supply
driven” dimana totalitas penyelenggaraan pendidikan kejuruan dilakukan secara
sepihak oleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas dan pengelolaannya terlalu
sentralistik; penerapan “school based model” telah membuat peserta didik
tertinggal oleh kemajuan dunia usaha atau industri; pengajaran berbasis mata
pelajaran telah membuat peserta didik tidak jelas kompetensi yang dicapainya;
pendidikan kejuruan model berbasis sekolah fleksibel, namun tidak mengakui
keahlian yang diperoleh di luar sekolah; pendidikan kejuruan hanya menyiapkan
tamatannya untuk bekerja di sektor formal dan kurang adanya integrasi antara
pendidikan dengan pelatihan kejuruan; guru kejuruan kurang adanya integrasi
antara pendidikan dengan pelatihan kejuruan ; guru kejuruan kurang memiliki
pengalaman kerja industri; dan adanya kesenjangan pembiayaan, sekolah kejuruan
negeri pembiayaan sepenuhnya ditanggung pemerintah, sedang sekolah kejuruan
swasta biayanya sepenuhnya ditanggung peserta didik.
f.
Adanya kebiasaan salah,
namun dilakukan terus menerus oleh guru tanpa ada kesadaran bahwa apa yang dilakukan
sebenarnya salah antara lain; membiarkan peserta didik menghasilkan pekerjaan
asal jadi tanpa ada pengawasan dan bimbingan; membiarkan peserta didik bekerja
sama tanpa memperhatikan keselamatan kerja.[17]
2.
Tantangan SDM
Arus globalisasi yang sedang melanda dunia termasuk
Indonesia merupakan tantangan bagi SDM. Globalisasi adalah suatu proses
pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi
global yang diyakini sebagai era masa depan yang menjanjikan, yaitu pertumbuhan
ekonomi global yang dapat mendatangkan kemakmuran global bagi semua. Proses
globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan faham kapitalisme, yakni kian
terbuka dan mengglobalkanya peran pesat. Investasi dan proses produksi dari
perusahaan-perusahaan transnasional yang dikuatkan oleh ideology dan tata dunia
perdagangan baru di bawah aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan
bebas secara global.[18]
Kebanyakan masyarakt beranggapan bahwa keunggulan
seseorang terletak pada kemampuan ekonominya, sedang untuk dapat memiliki
ekonomi yang mapan diperlukan SDM yangb berkualitas, dan ini bisa diperoleh
hanya dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan dunia usaha
dan industri erat sekali hubungannya dengan kualitas SDM yang menanganinya.
Suatu usaha dilakukan dan industri didirikan mempunyai satu tujuan, yaitu
membangun ekonomi yang mapan, yang berarti kemapaman ekonomi itulah yang
menjadi tujuan utama segala aktifitas kerja orang-orang di seluh dunia. Dengan
demikian maka “keunggulan manusia terletak pada kualiatas sumber daya yang
dimilikinya”.
Di sisi lain, globalisasi ditandai dengan mudahnya
seseorang memperoleh informasi dan sentuhan budaya dari berbagai penjuru dunia.
Kecepatan dan kemudahan memperoleh informasi tersebut karena adanya penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Siapa yang memilki teknologi informasi yang tinggi, maka
dialah yang paling cepat mengirim atau menerima informasi tentang aktifitas
ekonomi, budaya maupun lainnya. Oleh karena itu arus globalisasi datangnya dari
Barat, maka bentuk ekonomi, informasi dan budaya yang mengglobal adalah produk
Barat yang notabenya banyak yang tidak sesuai dengan ajaran dan budaya Islam.
Yang demikian itu merupakan tantangan yang harus dihadapi umat Islam.
Arus globalisasi dengan dua indikator tersebut sudah di
depan umat Islam. Jika umat Islam bertahan seperti keadaannya yang sekarang
ini, niscaya akan tersapu dan tenggelam dalam arus globalisasi secara
totalitas, berarti sengaja menghanyutkan nilai-nilai keIslaman sendiri. Yang
menjadi tantangan khususnya bagi dunia pendidikan Islam adalah merumuskan dan
menentukan langkah-langkah bagaimana agar umat Islam dapat tetap eksis dalam
arus globalisasi tanpa kehilangan nilai-nilai keIslamannya.
E.
Penutup
Dari pemaparan di atas,
maka dapat disederhanakan dalam uraian kesimpulan di bawah pendidikan Islam
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mengembangkan kualitas SDM yang
Islami yang ditandai dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, iman dan
takwa agar umat Islam tidak tenggelam dalam arus globalisasi atu terseret hanyut
sehingga menyebabkan nilai-nilai keIslamannya hilang. Walaupun dalam
kenyataannya selalu dihadapkan dengan berbagai hambatan dan tantangan.
Darajat, Zakiyah. 1996. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Direktorat
Jendral Pendidikan agama Islam Departemen Agama RI. 2006. Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah RI Tentang Pendidikan. Jakarta: Depag RI.
Fakih,
Mansour. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Al-Isfahaniy,
Al-Raghib t.t. 2000. al-Mafradat Fi Gharb al-Qur’an. Bairut: Dar al-Ma’arif.
Langgulung,
Hasan. 1989. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka al-Husna.
Maunah, Binti. 2007. Ilmu Pendidikan. Jember:
Center For Society Studies.
Mujib,
Abdul dan Mudzakir, Yusuf. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media.
K. Munitz, K. 1979. The Way Of Philosophy. New
York: Macmillan Publising Co.Inc.
Nasution,
Muhammad Yasir. 2002. Manusia Menurut al-Ghazali. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Nizar,
Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Pres.
Sidi,
Indra Djati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta: Paramadina Logos Wacana
Ilmu.
Soemanto, Wasty. 1992. Pendidikan Wiraswasta.
Jakarta: Bumi Aksara.
Syalabi, Ahmad. 1954. Tarikh al-Tarbiyah
al-Islamiyah. Kairo: al-Kasyaf.
Wood, Colling R.G. 1976. The Ideal Of History.
New York: Oxford University Press.
[1] Muhammad Nasir Nasution, Manusia
Menurut al-Ghazali, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 1.
[4] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Pres, 2002), hal. 7.
[8] Al-Raghib al-Isfahaniy
t.t., al-Mafradat Fi Gharb al-Qur’an. (Bairut: Dar al-Ma’arif, 2000), hal. 46-49.
[10] Abdul Mujib dan Yusuf
Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006),
hal. Xi.
[11] Direktorat Jendral
Pendidikan agama Islam Departemen Agama RI, Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah RI Tentang Pendidikan, (Jakarta: Depag RI, 2006), hal. 5.
[16] Indra Djati Sidi, Menuju
Masyarakat Belajar, (Jakarta: Paramadina Logos Wacana Ilmu, 2001), hal.
125-127.
[18] Mansour Fakih, Sesat
Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hal. 196.
No comments:
Post a Comment