Monday 31 December 2018

ISTRI/WANITA SHOLIHAH

ISTRI/WANITA SHOLIHAH
Wanita sholihah merupakan dambaan bagi setiap pria, maka sangatlah penting bagi setiap  pria yang hendak menikah untuk memperhatikan  Bibit Bebet dan Bobot dalam istilah jawa. Sedangkan islam telah mengajarkan kepada kita rambu-rambu bila hendak menikah memilih wanita lebih dititk beratkan pada  Agamanya bila dibandingkan dengan kecantikan, harta dan lainya. Wahai pria dan wanita apakah  kamu hendak menikah? Apakah kamu sedang bingung untuk menentukan pasangan hidup? Atau kamu ingin menjadi yang terbaik untuk suamimu? Silahkan dibaca dan dihayati artikel berikut ini. Istri yang sholehah merupakan dambaan dari setiap orang, baik itu pria ( suami ) maupun wanita ( istri ). Namun kadang kala kita tidak mengetahui ciri ciri seorang istri yang mulia. Berikut ada beberapa ciri dari seorang istri yang sholehah.
Sifat istri shalihah bisa kita rinci berikut ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan dalam Alqur’an dan Hadis :
1.       Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi  suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.”
(HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy- Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)
2.       Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya
Hadits Rosululloh Saw ;
 “jika seorang suami,  mengajak istrinya ke tempat tidur, tapi istrinya tidak mau melayaninya, lalu suami tidur dalam keadaan marah. Maka Malaikat melaknat istrinya hingga datang waktu pagi (subuh),.”
3.        Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”.
(HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”) 
4.       Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya.
Asma’ bintu Yazid radhiallahu ‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:
 “Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab.
Aku (Asma) pun menjawab:
 “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.”
(HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)
5.       Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar’i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.”
(HR. Muslim no.1436)
6.       Tidak memberikan Kemaluannya kecuali kepada suaminya.
Didalam Al Quran :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (an-Nuur: 2-3).

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,”(al-Israa’: 32)

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina,”
(al-Furqaan: 68-69).
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”
(al-Mumtahanah: 12).

Dalam  Hadist  Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tiga jenis orang yang Allah tidak mengajak berbicara pada hari kiamat, tidak mensucikan mereka, tidak melihat kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih: Orang yang berzina, penguasa yang pendusta, dan orang miskin yang sombong,”(HR Muslim [107]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Rauslullah saw. bersabda, “Tidaklah berzina seorang pezina saat berzina sedang ia dalam keadaan mukmin,”
Masih diriwayatkan darinya dari Nabi saw. beliau bersabda, “Jika seorang hamba berzina maka keluarlah darinya keimanan dan jadilah ia seperti awan mendung. Jika ia meninggalkan zina maka kembalilah keimanan itu kepadanya,” (Shahih, HR Abu Dawud [4690]).
Diriwayatkan dari al-Miqdad bin al-Aswad r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Bagaimana pandangan kalian tentang zina?” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya maka ia haram sampai hari kiamat.” Beliau bersabda, “Sekiranya seorang laki-laki berzina dengan sepuluh orang wanita itu lebih ringan daripada ia berzina dengan isteri tetangganya,” (Shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [103]).
7.        Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.”
Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya.
Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.”
(HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
8.       Melegakan hati suami bila dilihat. Rasulullah bersabda, ”Bagi seorang mukmin laki-laki, sesudah takwa kepada Allah SWT, maka tidak ada sesuatu yang paling berguna bagi dirinya,
selain istri yang shalehah. Yaitu, taat
bila diperintah, melegakan bila dilihat, ridha bila diberi yang sedikit, dan menjaga kehormatan diri dan suaminya, ketika suaminya pergi.” (HR Ibnu Majah).
9.       Amanah. Rasulullah bersabda,
”Ada tiga macam keberuntungan (bagi seorang lelaki), yaitu: pertama, mempunyai istri yang shalehah, kalau kamu lihat melegakan dan kalau kamu tinggal pergi ia amanah serta menjaga kehormatan dirinya dan hartamu …”(HR Hakim).
10.   istri shalehah mampu memberikan suasana teduh dan ketenangan berpikir dan berperasaan bagi suaminya.
Allah SWT berfirman,
” Di antara tanda kekuasaan-Nya, yaitu Dia menciptakan pasangan untuk diri kamu dari jenis kamu sendiri, agar kamu dapat memperoleh ketenangan bersamanya. Sungguh di dalam hati yang demikian itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir.”
(QS Ar Rum [30]: 21
)
Demikianlah  beberapa kriteria sebagai istri yang sholehah, walau tidak ada manusia yang sempurna ( istri / suami yg sempurna ) tapi sangat lebih baik jika anda bisa memenuhi kewajiban anda sebagai istri dan mendapatkan hak yang seharusnya anda dapatkan. Seburuk-buruknya suami anda, dia tetap imam dan pemimpin di keluarga anda.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, 
“Seorang perempuan jika telah menikah maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang tuanya dan mentaati suami itu lebih wajib dari pada taat orang tua” (Majmu Fatawa 32/261).
Hadits Rosululoh dalam kitab Mukhtarul Ahaditsin Nabawiyyah ;
“Apabila seorang wanita sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, ta’at kepada suami, menjaga krehormatan dirinya. Maka akan masuk Syurga dari pintu mana saja yang dia mau.”


MENGENAL PENDIDIKAN FITRAH SEKSUALITAS

MENGENAL PENDIDIKAN  FITRAH SEKSUALITAS

Marilah kita mencoba mengamati yang berada di lingkungan sekitar kita. Punya suami yang kasar? Kaku?  Garing dan susah memahami perasaan istrinya? Tidak mesra dengan anak? Coba tanyakan, beliau pasti tak dekat dengan ibunya ketika masa anak sebelum aqilbaligh. Punya suami yang "sangat tergantung" pada istrinya? Bingung membuat visi misi keluarga bahkan galau menjadi ayah? Coba tanyakan, beliau pasti tak dekat dengan ayahnya ketika masa anak.
Kok sebegitunya?
Ya! karena figur ayah dan ibu harus ada sepanjang masa mendidik anak anak sejak lahir sampai aqilbaligh, tentu agar fitrah seksualitas anak tumbuh indah paripurna. Pendidikan fitrah seksualitas berbeda dengan pendidikan seks. Pendidikan fitrah seksualitas dimulai sejak bayi lahir. Fitrah seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang berfikir, merasa dan bersikap sesuai fitrahnya sebagai lelaki sejati atau sebagai perempuan sejati. Menumbuhkan Fitrah ini banyak tergantung pada kehadiran dan kedekatan pada Ayah dan Ibu. Riset banyak membuktikan bahwa anak anak yang terpisah dari orangtuanya pada usia dini baik karena perang, bencana alam, perceraian, dll akan banyak mengalami gangguan kejiwaan, sejak perasaan terasing (anxiety), perasaan kehilangan kelekatan atau attachment, sampai kepada depresi. Kelak ketika dewasa memiliki masalah sosial dan seksualitas seperti homoseksual, membenci perempuan, curiga pada hubungan dekat dan sebagainya. Jadi dalam mendidik fitrah seksualitas, figur ayah ibu senantiasa harus hadir sejak lahir sampai Aqil Baligh. Sedangkan dalam proses pendidikan berbasis fitrah, mendidik fitrah seksualitas ini memerlukan kedekatan yang berbeda beda untuk tiap tahap.
Usia 0-2 tahun, anak lelaki dan perempuan didekatkan pada ibunya karena ada menyusui, di usia 3 - 6 tahun anak lelaki dan anak perempuan harus dekat dengan ayah ibunya agar memiliki keseimbangan emosional dan rasional apalagi anak sudah harus memastikan identitas seksualitasnya sejak usia 3 tahun. Kedekatan paralel ini membuat anak secara imaji mampu membedakan sosok lelaki dan perempuan, sehingga mereka secara alamiah paham menempatkan dirinya sesuai seksualitasnya, baik cara bicara, cara berpakaian maupun cara merasa, berfikir dan bertindak sebagai lelaki atau sebagai perempuan dengan jelas. Ego sentris mereka harus bertemu dengan identitas fitrah seksualitasnya, sehingga anak di usia 3 tahun dengan jelas mengatakan "saya perempuan" atau "saya lelaki" Bila anak masih belum atau tidak jelas menyatakan identitas gender di usia ini (umumnya karena ketiadaan peran ayah ibu dalam mendidik) maka potensi awal homo seksual dan penyimpangan seksualitas lainnya sudah dimulai.
Ketika usia 7 - 10 tahun, anak lelaki lebih didekatkan kepada ayah, karena di usia ini ego sentrisnya mereda bergeser ke sosio sentris, mereka sudah punya tanggungjawab moral, kemudian di saat yang sama ada perintah Sholat. Maka bagi para ayah, tuntun anak untuk memahami peran sosialnya, diantaranya adalah sholat berjamaah, berkomunikasi secara terbuka,  bermain dan bercengkrama akrab dengan ayah sebagai aspek pembelajaran untuk bersikap dan bersosial kelak, serta menghayati peran kelelakian dan peran keayahan di pentas sosial lainnya. Wahai para Ayah, jadikanlah lisan kita sakti dalam narasi kepemimpinan dan cinta, jadikanlah tangan kita  sakti dalam urusan kelelakian dan keayahan. Ayah harus jadi lelaki pertama yang dikenang anak anak lelakinya dalam peran seksualitas kelelakiannya. Ayah pula yang menjelaskan pada anak lelakinya tata cara mandi wajib dan konsekuensi memiliki sperma bagi seorang lelaki. Begitupula anak perempuan didekatkan ke ibunya agar peran keperempuanan dan peran keibuannya bangkit. Maka wahai para ibu jadikanlah tangan kita sakti dalam merawat dan melayani, lalu jadikanlah kaki kita sakti dalam urusan keperempuanan dan keibuan. Ibu harus jadi wanita pertama hebat yang dikenang anak anak perempuannya dalam peran seksualitas keperempuanannya. Ibu pula orang pertama yang harus menjelaskan makna konsekuensi adanya rahim dan telur yang siap dibuahi bagi anak perempuan. Jika sosok ayah ibu tidak hadir pada tahap ini, maka inilah pertkita potensi homoseksual dan kerentanan penyimpangan seksual semakin menguat.
Lalu bagaimana dengan tahap selanjutnya, usia 10 - 14? Nah inilah tahap kritikal, usia dimana puncak fitrah seksualitas dimulai serius menuju peran untuk kedewasaan dan pernikahan. Di tahap ini secara biologis, peran reproduksi dimunculkan oleh Allah SWT secara alamiah, anak lelaki mengalami mimpi basah dan anak perempuan mengalami menstruasi pada tahap ini. Secara syahwati, mereka sudah tertarik dengan lawan jenis. Maka agama yang lurus menganjurkan pemisahan kamar lelaki dan perempuan, serta memberikan warning keras apabila masih tidak mengenal Tuhan secara mendalam pada usia 10 tahun seperti meninggalkan sholat. Ini semua karena inilah masa terberat dalam kehidupan anak, yaitu masa transisi anak menuju kedewasaan termasuk menuju peran lelaki dewasa dan keayahan bagi anak lelaki, dan peran perempuan dewasa dan keibuan bagi anak perempuan. Maka dalam pendidikan fitrah seksualitas, di tahap usia 10-14 tahun, anak lelaki didekatkan ke ibu, dan anak perempuan didekatkan ke ayah. Apa maknanya?
Anak lelaki didekatkan ke ibu agar seorang lelaki yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis, maka di saat yang sama harus memahami secara empati langsung dari sosok wanita terdekatnya, yaitu ibunya, bagaimana lawan jenisnya harus diperhatikan, dipahami dan diperlakukan dari kacamata perempuan bukan kacamata lelaki. Bagi anak lelaki, ibunya harus menjadi sosok wanita ideal pertama baginya sekaligus tempat curhat baginya. Anak lelaki yang tidak dekat dengan ibunya di tahap ini, tidak akan pernah memahami bagaimana memahami perasaan, fikiran dan pensikapan perempuan dan kelak juga istrinya. Tanpa ini, anak lelaki akan menjadi lelaki yg tidak dewasa, atau suami yang kasar, egois dsbnya. Pada tahap ini, anak perempuan didekatkan ke ayah agar seorang perempuan yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis, maka disaat yang sama harus memahami secara empati langsung dari sosok lelaki terdekatnya, yaitu ayahnya, bagaimana lelaki harus diperhatikan, dipahami dan diperlakukan dari kacamata lelaki bukan kacamata perempuan. Bagi anak perempuan, ayahnya harus menjadi sosok lelaki ideal pertama baginya sekaligus tempat curhat baginya.
Anak perempuan yang tidak dekat ayahnya di tahap ini, kelak berpeluang besar menyerahkan tubuh dan kehormatannya pada lelaki yang dianggap dapat menggantikan sosok ayahnya yang hilang dimasa sebelumnya. Semoga kita dapat merenungi mendalam dan menerapkannya dalam pendidikan fitrah seksualitas anak anak kita, agar anak anak lelaki kita tumbuh menjadi lelaki dan ayah sejati, dan agar anak anak perempuan kita tumbuh menjadi perempuan dan ibu sejati.
Agar para propagandis homo seksualitas tidak lebih pkitai menyimpangkan fitrah seksualitas anak anak kita daripada kepkitaian kita menumbuhkan fitrah seksualitas anak anak kita. Agar ahli kebathilan gigit jari berputus asa, karena kita lebih ahli dan berdaya mendidik fitrah anak anak kita.


KAPAN SEBAIKNYA MENINGGALKAN RIBA?

KAPAN SEBAIKNYA MENINGGALKAN RIBA?

Kalau sekarang Kita dalam kubangan riba, sebenarnya bukan hal yang aneh, karena justru yang aneh itu kalau Kita tidak terjebak riba hehe.  Nggak percaya? Coba sekarang merem, lalu pegang satu orang, siapa saja di dekat Kita, niscaya orang yang Kita pegang itu sedang terlibat riba.! Woww...kok sampai segitunya? Iya, karena memang sekarang sudah jamannya, Nabiyyina Muhammad SAW sendiri sudah mengingatkan, bahwa akan datang suatu zaman, dimana riba akan merajalela, tidak satupun tersisa orang kecuali pasti akan makan riba, minimal terkena percikan riba. Nah, lantas gimana dong, saat ini kan susah untuk keluar dari kubangan ribawi? Bukan susah, tapi masih ada yang belum bener, apa itu? Yah mindset Kita itu. Kita selalu memelihara mindset 'pengecut' dengan mengatakan :"Saya tidak mau riba, Saya akan segera berhenti, tapi nanti setelah Saya siapkan dulu semuanya".
Apa yang terjadi?
Kalau Kita pengusaha yang modalnya riba, Kita akan selalu berfikir bahwa "Saya akan putus hubungan dengan modal Riba, tapi Saya harus cari dulu modal yang bebas Riba". Jika Kita seorang yang sedang KPR Rumah di perbankan, ingin berhenti KPR karena Kita tahu itu riba, maka yang Kita lakukan terus mencari cara gimana agar dapat uang melunasi utang tertunggak. Bila Kita sedang 'punya' mobil leasing (Saya beri kita kutip karena mobil leasing memang belum hak milik), Kita akan berputar-putar pada lisan Kita "Saya tahu mobil leasing itu riba dan bathil, Saya akan coba cari cara yg halal gimana supaya mobil ini bisa Saya bayar lunas" Apakah Kita termasuk orang yang punya mindset seperti di atas? Coba di cek, apakah benar-benar Kita berhenti dari praktik riba tersebut?
Jawabannya: TIDAK.!
Mengapa? Karena mindset Kita itu keliru. Kita sebenarnya selalu ingin ada solusi yang halal atas perbuatan haram yang sedang Kita lakukan yang notabene masih Kita pertahankan.! Buktinya, Kita masiiiihhh aja terus berbisnis dengan modal riba, tetap nambah plafon modal ke perbankan. KPR riba setiap bulan tak pernah ditinggalkan. Mobil leasing masih tetap petantang petenteng dipakai ke mana-mana. Lalu sampai kapan RIBA nya berhenti kalau mindsetnya gitu terus???
Woii sadar...!
Nah, mindset yang bener seperti apa?
"BERHENTI seketika Kita tahu itu RIBA atau berusaha untuk berhenti sampai pada ambang batas kemampuan Kita" Seperti dulu Ummat Islam ketika datang perintah haramnya minuman keras, seketika semua kendi-kendi di hancurkan, bahkan seteguk minuman keras yang sudah dimulut pun ikut dimuntahkan, lantaran hukum larangannya sudah datang. Begitupun dengan para wanita muslimah tatakalah mendengarkan perintah wajibnya menutup aurat. Maka di antara mereka mengambil kain apa saja di sekitar mereka untuk menutupi auratnya. Karena perintah wajibnya berhijab telah tiba. Mana ada mereka itu mengatakan "Memang sih minuman keras dilarang dan Kita akan berhenti, tapi Kita habisin dulu yang sekarang sudah ada". "Menutup aurat memang sudah wajib, Kita harus menutup aurat, tapi tunggulah Kita buat hijab dulu di tukang jahit"
Inilah mindset yang bener itu.!
Aplikasinya juga sama persis yang dilakuan oleh Sitti Hajar ketika ditinggalkan oleh suaminya Nabiullah Ibrahim as di padang gersang nan tandus, ia bersama dengan anak bayi mungilnya Ismail as ketika itu. Apa yah kira-kira yang dikatakan oleh Sitti Hajar saat Ibrahim hendak meninggalkannya? Kira-kira ia ngomong begini "Kalau memang engkau tinggalkan kami di tengah gurun gersang nan tandus ini sudah menjadi perintah Allah SWT, maka pergilah suamiku". Sitti Hajar dengar, patuh dan take action.! Padahal di gurun itu, tak ada air sama sekali, sementara ia memiliki seorang bayi mungil yang sewaktu-waktu butuh asupan makanan dan minuman. Dia nggak pernah bilang begini "Suamiku, Kita tahu ini perintah Allah SWT, tapi tolonglah, engkau pastikan dulu sebelum engkau pergi ada air yang bisa Kami minum selama ditinggal pergi". Tapi masyaa Allah, Sitti Hajar memberikan pelajaran besar akan arti dari suatu mindset yang benar.! Dia terima ketentuan Allah, dia mau ditinggalkan bersama anak bayinya, tanpa air setetes pun. Lalu setelah ia ditinggalkan, ia berusaha semaksimal mungkin berjalan antara bukit shofa dan marwah, namun tak ada satupun sumber mata air yang didapatkannya, kecuali hanyalah fatamorgana.!
Namun tak disangka dan tak dinyana, sumber mata air kehidupan itu justru muncul dari bawah kaki kecil Ismail, keluar dari tempat yang tak berhubungan sama sekali dengan ikhtiar yang dilakukan Sitti Hajar. Itulah yang kemudian Kita kenal dengan air zamzam, airnya telah diminum oleh manusia segala zaman dan dari penjuru dunia tak habis-habis.
Mengambil pelajaran dari Sitti Hajar dan dikaitkan dengan fenomena riba ini, maka seharusnya yang Kita miliki adalah:
1. MINDSET YANG BENAR
Kalau haram, berhenti. Stop usaha yang modalnya riba. Stop KPR Rumah yang riba. Stop mobil leasing yang sudah jelas riba. JANGAN MIKIR SOLUSI nya dulu.
2. IKHTIAR MAKSIMAL
Setelah Kita STOP semuanya, potensi yang Kita miliki, gunakanlah secara maraton, dulu Kita nyari modal riba, bayarin kpr riba, beli mobil leasing semangat 45, sekarang Kita harusnya semangat 90. Tiada hari kecuali nyari solusinya untuk apa? Yah untuk bayarin kerugian akibat usaha riba yang Kita tinggal. Ngejar lagi untuk bisa punya rumah dengan cara yang syar'ie dan beli mobil lagi dengan cara cash.!
3. PERSIAPKAN DIRI
Ketika sudah benar mindsetnya, ikhtiarnya maksimal, giliran Kita PERSIAPKAN DIRI, untuk apa? Terhadap KEJUTAN solusi dari Allah SWT. Persiapkan diri untuk terima air zam-zam atas segala kebutuhan Kita dan bagi segala masalah yang sedang menimpa Kita.
Ingat, Allah akan mendatangkan jalan keluar yang banyak (subulanaa) dan yang tidak disangka-sangka (laa yahtasib) jika Kita berhenti dulu melakukan yang haram dan ikhtiar maksimal yang melibatkan tawakkal kepada Allah SWT.
So, kapan seharusnya meninggalkan riba?

SEKARANG..!! atau mau taruhan dengan AJAL..!?

Mengenal RIBA Dalam islam


Mengenal  RIBA dalam islam

Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Menurut Yusuf Alqordhowi  setiap pinjaman yang didsalamnya mensyaratkan tambahan maka dinamakan RIBA
Riba merupakan penyakit ekonomi masyarakat yang telah dikenal lama dalam peradaban manusia. Beberapa pakar ekonomi memperkirakan bahwa riba telah ada sejak manusia mengenal uang (emas dan perak di zaman itu). Riba dikenal pada masa peradaban Farao/Fir’aun di Mesir, peradaban Sumeria, Babilonia, dalam kitab perjanjian lama bahwa diharamkan orang Yahudi mengambil riba dari orang Yahudi, namun dibolehkan orang Yahudi mengambil riba dari orang di luar Yahudi. (Dr. ‘Abdullah Al ‘Umrani, kitab Al Manfa’atu fil Qardh, 86) Tidak dapat dipastikan kebenaran perkiraan di atas kecuali keberadaan riba pada peradaban Yahudi. Karena Al Qur’an menjelaskan bahwa Bani Israil (umat Nabi Musa ‘alaihis salam) melakukan riba dan Allah Subhanahuwata’ala pun telah melarang mereka memakan riba. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
{فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا} [النساء : 160]
  Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
{وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا} [النساء : 161]
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Kemudian umat Yahudi memperkenalkan riba kepada bangsa Arab di semenanjung Arabia, tepatnya di kota Thaif dan Yastrib (kemudian di kenal dengan Madinah hingga saat ini). Di dua kota ini Yahudi berhasil meraup keuntungan yang tak terhingga, sampai-sampai orang-orang Arab Jahiliyah menggadaikan anak, istri, dan diri mereka sendiri sebagai jaminan hutang riba (ini awal dan permulaan perbudakan yang besar di Arab). Bila mereka tidak mampu melunasi hutang maka Jaminan mereka dijadikan budak Yahudi.
Dari kota Thaif praktik Riba menjalar ke kota Makkah dan dipraktikkan oleh para bangsawan kaum Quraisy Jahiliyah (Dr. Rafiq Al Mishri, Jami’ Ushulurriba, hal 22). Maka riba marak di kota Makkah, sebagaimana yang kita ketahui dalam khutbah Rasulullah Shallallahu’alaihi wassallam di ‘Arafah pada Haji Wada’ beliau bersabda,
وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَانَا عَبَّاسٍ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَإِنَّهُ مَوْ ضُوْ عٌ كُلُّهُ.

“Riba Jahiliyah telah dihapuskan, Riba pertama yang kuhapuskan adalah riba ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib, sesungguhnya riba telah dihapuskan seluruhnya.”(HR. Muslim)
Bentuk-bentuk Riba yang dilakukan orang-orang Jahiliyah
  1.  Seseorang memberikan pinjaman 10 keping uang emas selama waktu yang ditentukan dengan syarat nanti dikembalikan/dibayar sebanyak 11 keping uang emas
  2. Seseorang meminjam 10 keping uang emas, bila jatuh tempo pelunasan dan ia belum mampu membayar, ia mengatakan, “Beri saya masa tangguh, nanti hutang piutang anda saya tambah”.
  3. Seseorang memberikan pinjaman modal usaha 100 keping uang emas. Setiap bulannya mendapat bunga 2 keping emas. Bila telah sampai masa yang ditentukan, si peminjam harus mengembalikan modal utuh sebanyak 100 keping uang emas. Jika ia telat melunasi maka ia harus membayar denda keterlambatan yang terkadang perbandingannya/rationya lebih besar daripada bunga bulanan.
  4. Seseorang membeli barang dengan cara tidak tunai. Bila ia belum melunasi hutang pada saat jatuh tempo maka ia harus membayar denda keterlambatan selain melunasi hutang pokok (inilah praktik hari ini yang terdapat pada lembaga keuangan, perbankan, leasing, koperasi, dsj).
(Dr. Rafiq Al Mishri, Jami’ Ushulurriba, hal 22-25)
Jadi ini sebagai dasar bahwa praktik lembaga keuangan (perbankan, leasing, koperasi, lembaga2 pembiayaan, dsj) pada hari ini bukan hal baru melainkan telah ada di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi wassallam yang beliau hapuskan dengan Syari’at Allah Subhanahuwata’ala.
(Buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Dr. Erwandi Tarmizi hal 329-331)

Saturday 29 December 2018

Ikhtilaf Dalam Masalah Ijtihad


Ikhtilaf Dalam Masalah Ijtihad

Ikhtilaf adalah istilah dalam kajian hukum Islam yang berarti perbedaan, perselisihan, dan pertukaran. Alquran sebagai pedoman hidup bagi umat Islam menyebutkan kata ikhtilaf pada tujuh ayat dan kata jadiannya pada sembilan tempat. Kata ikhtilaf yang memiliki arti perbedaan dan perselisihan dapat dilihat pada Alquran surah Al-Baqarah ayat 176, 213, dan 253. Kata ikhtilaf sering pula disebut dengan kata "khilafiyah" yang memiliki arti perbedaan pandangan di antara ulama terhadap suatu persoalan hukum. Namun demikian, khilafiyah juga dapat terjadi pada aspek lain seperti politik, dakwah, dan lain-lain.
Para ulama telah meneliti dalil-dalil tentang ikhtilaf, sehingga nampak jelas bahwa ikhtilaf itu ada dua macam, masing-masing terdiri dari beberapa jenis.
IKHTILAF TERCELA
Jenis-jenisnya adalah sebagai berikut :
A.      Ikhtilaf yang kedua belah pihak dicela, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ikhtilafnya orang-orang Nashara.
فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Maka Kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat” [Al-Maidah/5 : 14]
Firman Allah dalam menerangkan ikhtilaf nya orang-orang Yahudi
وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ۚ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ 
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya” [Al-Maidah/5 : 64]
Demikian juga ikhtilaf nya ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan ahlul bid’ah dalam hal-hal yang mereka perselisihkan. Allah berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka” [Al-An’am/6 : 159]
Juga termasuk kedalam ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf antara dua kelompok kaum muslim dalam masalah ikhtilaf tanawwu’ (fariatif) dan masing-masing mengingkari kebenaran yang dimiliki oleh kelompok lain.
B.      Ikhtilaf yang salah satu pihak dicela dan satu lagi dipuji (karena benar).
Ini disebut dengan ikhtilaf tadhadh (kontradiktif) yaitu salah satu dari dua pendapat adalah haq dan yang satu lagi adalah bathil. Allah telah berfirman.
وَلَٰكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا
“Akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan” [Al-Baqarah/2 : 253]
Ini (ayat di atas) adalah pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan kekufuran. Adapun pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan bid’ah adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits iftiraq.
“Artinya : Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 firqah (kelompok), kaum Nashara menjadi 72 firqah, dan ummat ini akan terpecah menjadi 73 firqah, semuanya (masuk) didalam neraka kecuali satu. Ditanyakan : “Siapakah dia wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “orang yang berada diatas jalan seperti jalan saya saat ini beserta para sahabatku” dalam sebagian riwayat : “dia adalah jama’ah” [Lihat “Silsilah Ash-Shahihah 204 Susunan Syaikh Nashiruddin Al-Albani]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa semua firqah ini akan binasa, kecuali yang berada diatas manhaj salaf ash-shaleh. Imam Syathibi berkata : “Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [illa waahidah] telah menjelaskan dengan sendirinya bahwa kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Seandainya kebenaran itu bermacam-macam, Rasul tidak akan mengucapkan ; [illa waahidah] dan juga dikarenakan bahwa ikhtilaf itu di-nafi (ditiadakan) dari syari’ah secara mutlak, karena syari’ah itu adalah hakim antara dua orang yang berikhtilaf. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)”. [An-Nisaa/4 : 59]


IKHTILAF YANG BOLEH
Ikhtilaf yang diperbolehkan Ini juga ada dua macam yaitu :

a.      Ikhtilafnya dua orang mujtahid dalam perkara yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya. 
Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah berfirman.
 هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
 “Artinya : Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [Al-Hajj : 78
Diantara rahmat ini adalah tidak memberikan beban dosa kepada seorang mujtahid yang salah bahkan ia mendapatkan pahala karena kesungguhannya dalam mencari hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman.
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ
“Artinya : Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu salah padanya” [Al-Ahzab : 5]

Dari Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.l
“Artinya : Apabila ada seorang hakim mengadili maka ia berijtihad, lalu ia benar (dalam ijtihadnya) maka ia mendapatkan dua pahala, apabila ia mengadili maka ia berijtihad, lalu ia salah maka ia mendapatkan satu pahala” [Hadits Riwayat Imam Bikhari]
b.       Ikhtilaf Tanawwu
Contohnya adalah ikhtilaf sahabat dalam masalah bacaan (Al-Qur’an) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :”Saya mendengar seseorang membaca ayat yang saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya berbeda dengan orang itu, maka saya pegang tangannya lalu saya bahwa kehadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya laporkan hal itu kepada beliau, namun saya melihat tanda tidak suka pada wajah beliau, dan beliau bersabda. 

“Artinya : Kalian berdua bagus (bacaannya), jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang orang-orang yang bertaklid kepada sebagian ulama dalam masalah ijtihad, apakah harus dingkari dan dijauhi? Beliau menjawab: “Alhamdulillah, dalam masalah-masalah ijtihad, barang siapa mengamalkan pendapat ulama tidak boleh diingkari atau dijauhi. Dan barang siapa mengambil salah satu dari dua pendapat juga tidak boleh dingkari, jika dalam sebuah masalah ada dua pendapat. Apabila seseorang mengetahui ada salah satu dari dua pendapat yang lebih rajih, maka hendaklah ia mengamalkannya, jika tidak maka dibolehkan dia bertaklid terhadap beberapa ulama yang bisa dijadikan rujukan untuk menjelaskan pendapat yang lebih rajih diantara dua pendapat, wallahu’alam.” (Majmu’ah Al Fatawa, vol. 20, hal. 115)
Beliau berkata di tempat lain:”Adapun ikhtilaf dalam permasalahan hukum, bisa lebih banyak lagi. Seandainya saja jika dua orang muslim ikhtilaf dalam suatu masalah dan keduanya saling menjahui maka tidaklah tersisa dari umat ini kemaksuman dan persaudaraan…” (Majmu’ah Al Fatawa, vol. 24, hal 96).
Syaikhul Islam dalam Khilaf Al Ummah fi Al Ibadat wa Madzhab Ahlu As Sunnah juga menyebutkan Imam Ahmad yang berpendapat bahwa membaca basmalah dalam shalat tidak perlu dengan jahr. Akan tetapi beliau membaca basmalah dengan jahr jika shalat di Madinah, karena penduduknya membaca basmalah dengan jahr. Qadhi Abu Yu’la Al Fara’ menjelaskan bahwa Imam Ahmad melakukan hal itu dalam rangka menjaga ukhuwah (Risalah Ulfah, hal. 48).
Larangan Berpecah-Belah
Salah satu penyebab perpecahan umat adalah imtihan (menguji) dengan penisbatan yang tidak berdasarkan nash. Seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah, yaitu dengan mengatakan kepada seseorang:”Kamu Shukaily atau Qarfandi?” Maka jika seseorang ditanya dengan pertanyaan seperti itu, jawabnya adalah:”Saya bukan Shukaili atau Qarfandi, akan tetapi saya muslim yang mengikuti Kitabullah dan sunnah rasul-Nya.”
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas ditanya oleh Muawiyah:”Kamu mengikuti millah Ali atau millah Utsman?” Beliau menjawab: “Saya tidak mengikuti millah Ali ataupun Utsman, akan tetapi saya mengikuti millah Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam.”
Begitu juga tidak diperbolehkan imtihan (menguji) dengan penisbatan yang sudah umum dipakai para ulama, seperti penisbatan kepada Imam (Al Hanafi, Al Maliki, As Syafi’i atau Al Hambali), yaitu dengan mengatakan: “Kamu Hanafi atau Maliki?” Juga penisbatan kepada guru ( Al Qadiri atau Al ‘Adawi), atau qabilah (Al Qaisi atau Al Yamani), atau negeri (Al Iraqi, Al Mishri atau As Syami). Juga tidak boleh berloyalitas atas nama-nama ini dan tidak pula menyakiti mereka yang bernisbah kepadanya. Adapun yang paling muliya di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa, tidak pandang dari thaifah mana pun dia (Lihat, Majmu’ah Fatawa, vol. 3, hal. 255).
Loyalitas Tidak Didasari Atas Penisbatan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-rahimahullah- mengatakan: “Allah telah memberi kabar, bahwa orang mukmin memiliki loyalitas kepada Allah, rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang mukmin. Mukmin di sini bersifat umum, barang siapa beriman maka dia disifati dengan sifat ini. Baik mereka yang menisbahkan diri, atas negeri, madzhab, thariqah atau yang tidak menisbahkan diri. Allah telah berfirman:”Dan laki-laki yang beriman serta perempuan yang berimana, sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain.”(At Taubah: 71).
Ibnu Taimiyah juga menyebutkan beberapa hadits, salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Permisalan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih dan sayang atas sesama mereka seperti satu tubuh, jika salah satu dari anggota badan sakit maka seluruh badan ikut demam susah tidur.” (Lihat, Majmu’ah Al Fatawa, vol. 3, hal. 257)
Tawadhu’ Ibnu Taimiyah Kepada Ulama Madzhab Lain
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak hanya cukup berfatwa, lebih dari itu, amalan beliau mencerminkan apa yang beliau katakan. Ibnu Taimiyah tetap bisa bersikap obyektif kepada para ulama lain walaupun mereka berbeda pendapat atau madzhab. Meskipun beliau dalam banyak hal mengambil pendapat Madzhab Hambali akan tetapi beliau memiliki beberapa murid yang bermadzhab lain, seperti Ibnu Katsir (774 H) dan Imam Ad Dzahabi (748 H), keduanya bermadzhab Syafi’i.
Antara Ibnu Taimiyah dan Taqiyuddin As Subki (756 H) yang bermadzhab Syafi’i sering saling mengkritik lewat karya masing-masing, akan tetapi Ibnu Taimiyah tetap memuji karya-karya Taqiyuddin As Subki, dan beliau tidak memberi penghormatan kepada orang lain sebagaimana beliau menghormati Taqiyuddin As Subki (lihat, Tabaqat Asyafi’yah Al Kubra, vol.10, hal. 194).
Yang juga perlu dicontoh dari Ibnu Taimiyah adalah sifat tawadhu’ beliau terhadap ‘Alauddin Al Baji (724 H), salah satu ulama madzhab Syafi’i yang mempunyai majelis perdebatan. Suatu saat mereka berdua bertemu, dan Al Baji berkata kepada Ibnu Taimiyah: ”Bicaralah, kita membahas permasalahan denganmu.” Akan tetapi Ibnu Taimiyah menjawab:”Orang sepertiku tidak akan berbicara di hadapan anda, tugasku adalah mengambil faidah dari anda.” (Tabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, vol. 10, hal. 342)
Nasehat Ibnu Taimiyah
Syikhul Islam –rahimahullah- mengatakan: “Perpecahan umat yang telah menimpa para ulama, para masyayikh, umara’, serta para pembesarnya merupakan penyebab berkuasanya musuh atas mereka. Dan itu disebabkan karena mereka telah meninggalkan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya…”
Di tempat lain dijelaskan, bahwa Allah berfirman:”Dan hendaklah ada dari antara kamu satu golongan yang mengajak kepada kebaikan dan menyeru kepada hal yang ma’ruf serta melarang hal yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” Ibnu Taimiyah mengatakan:”Amar ma’ruf adalah memerintahkan untuk bersatu dan berkumpul adapun nahi mungkar adalah menegakkan hudud dengan Syari’at Allah.” (Lihat, Majmu’ah Al Fatawa, vol. 3, hal. 259).

Maka, marilah kita rapatkan shaff, kikis rasa ta’ashub pada diri kita, juga prasangka buruk terhadap yang lain, juga perasaan bahwa diri kita selalu dalam kebenaran dan yang lain selalu berada dalam kebathilan, juga klaim bahwa hanya kita yang memahami dien sedangakan yang lain hanyalah juhala’ yang tidak perlu didengarkan. Wallahu’alam bishowab. 

ISTRI/WANITA SHOLIHAH

ISTRI/WANITA SHOLIHAH Wanita sholihah merupakan dambaan bagi setiap pria, maka sangatlah penting bagi setiap  pria yang hendak menikah...