MENGENAL PENDIDIKAN FITRAH SEKSUALITAS
Marilah kita mencoba mengamati yang berada di
lingkungan sekitar kita. Punya suami yang kasar? Kaku? Garing dan susah memahami perasaan istrinya?
Tidak mesra dengan anak? Coba tanyakan, beliau pasti tak dekat dengan ibunya
ketika masa anak sebelum aqilbaligh. Punya suami yang "sangat
tergantung" pada istrinya? Bingung membuat visi misi keluarga bahkan galau
menjadi ayah? Coba tanyakan, beliau pasti tak dekat dengan ayahnya ketika masa
anak.
Kok sebegitunya?
Ya! karena figur ayah dan ibu harus ada sepanjang
masa mendidik anak anak sejak lahir sampai aqilbaligh, tentu agar fitrah
seksualitas anak tumbuh indah paripurna. Pendidikan fitrah seksualitas berbeda
dengan pendidikan seks. Pendidikan fitrah seksualitas dimulai sejak bayi lahir.
Fitrah seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang berfikir, merasa dan
bersikap sesuai fitrahnya sebagai lelaki sejati atau sebagai perempuan sejati. Menumbuhkan
Fitrah ini banyak tergantung pada kehadiran dan kedekatan pada Ayah dan Ibu. Riset
banyak membuktikan bahwa anak anak yang terpisah dari orangtuanya pada usia
dini baik karena perang, bencana alam, perceraian, dll akan banyak mengalami
gangguan kejiwaan, sejak perasaan terasing (anxiety), perasaan kehilangan
kelekatan atau attachment, sampai kepada depresi. Kelak ketika dewasa memiliki
masalah sosial dan seksualitas seperti homoseksual, membenci perempuan, curiga pada
hubungan dekat dan sebagainya. Jadi dalam mendidik fitrah seksualitas, figur
ayah ibu senantiasa harus hadir sejak lahir sampai Aqil Baligh. Sedangkan dalam
proses pendidikan berbasis fitrah, mendidik fitrah seksualitas ini memerlukan
kedekatan yang berbeda beda untuk tiap tahap.
Usia 0-2 tahun, anak lelaki dan perempuan
didekatkan pada ibunya karena ada menyusui, di usia 3 - 6 tahun anak lelaki dan
anak perempuan harus dekat dengan ayah ibunya agar memiliki keseimbangan
emosional dan rasional apalagi anak sudah harus memastikan identitas
seksualitasnya sejak usia 3 tahun. Kedekatan paralel ini membuat anak secara
imaji mampu membedakan sosok lelaki dan perempuan, sehingga mereka secara
alamiah paham menempatkan dirinya sesuai seksualitasnya, baik cara bicara, cara
berpakaian maupun cara merasa, berfikir dan bertindak sebagai lelaki atau
sebagai perempuan dengan jelas. Ego sentris mereka harus bertemu dengan
identitas fitrah seksualitasnya, sehingga anak di usia 3 tahun dengan jelas
mengatakan "saya perempuan" atau "saya lelaki" Bila anak
masih belum atau tidak jelas menyatakan identitas gender di usia ini (umumnya
karena ketiadaan peran ayah ibu dalam mendidik) maka potensi awal homo seksual
dan penyimpangan seksualitas lainnya sudah dimulai.
Ketika usia 7 - 10 tahun, anak lelaki lebih
didekatkan kepada ayah, karena di usia ini ego sentrisnya mereda bergeser ke
sosio sentris, mereka sudah punya tanggungjawab moral, kemudian di saat yang
sama ada perintah Sholat. Maka bagi para ayah, tuntun anak untuk memahami peran
sosialnya, diantaranya adalah sholat berjamaah, berkomunikasi secara
terbuka, bermain dan bercengkrama akrab
dengan ayah sebagai aspek pembelajaran untuk bersikap dan bersosial kelak,
serta menghayati peran kelelakian dan peran keayahan di pentas sosial lainnya. Wahai
para Ayah, jadikanlah lisan kita sakti dalam narasi kepemimpinan dan cinta,
jadikanlah tangan kita sakti dalam
urusan kelelakian dan keayahan. Ayah harus jadi lelaki pertama yang dikenang
anak anak lelakinya dalam peran seksualitas kelelakiannya. Ayah pula yang
menjelaskan pada anak lelakinya tata cara mandi wajib dan konsekuensi memiliki
sperma bagi seorang lelaki. Begitupula anak perempuan didekatkan ke ibunya agar
peran keperempuanan dan peran keibuannya bangkit. Maka wahai para ibu
jadikanlah tangan kita sakti dalam merawat dan melayani, lalu jadikanlah kaki kita
sakti dalam urusan keperempuanan dan keibuan. Ibu harus jadi wanita pertama
hebat yang dikenang anak anak perempuannya dalam peran seksualitas
keperempuanannya. Ibu pula orang pertama yang harus menjelaskan makna
konsekuensi adanya rahim dan telur yang siap dibuahi bagi anak perempuan. Jika
sosok ayah ibu tidak hadir pada tahap ini, maka inilah pertkita potensi
homoseksual dan kerentanan penyimpangan seksual semakin menguat.
Lalu bagaimana dengan tahap selanjutnya, usia 10
- 14? Nah inilah tahap kritikal, usia dimana puncak fitrah seksualitas dimulai
serius menuju peran untuk kedewasaan dan pernikahan. Di tahap ini secara
biologis, peran reproduksi dimunculkan oleh Allah SWT secara alamiah, anak
lelaki mengalami mimpi basah dan anak perempuan mengalami menstruasi pada tahap
ini. Secara syahwati, mereka sudah tertarik dengan lawan jenis. Maka agama yang
lurus menganjurkan pemisahan kamar lelaki dan perempuan, serta memberikan
warning keras apabila masih tidak mengenal Tuhan secara mendalam pada usia 10
tahun seperti meninggalkan sholat. Ini semua karena inilah masa terberat dalam
kehidupan anak, yaitu masa transisi anak menuju kedewasaan termasuk menuju
peran lelaki dewasa dan keayahan bagi anak lelaki, dan peran perempuan dewasa
dan keibuan bagi anak perempuan. Maka dalam pendidikan fitrah seksualitas, di
tahap usia 10-14 tahun, anak lelaki didekatkan ke ibu, dan anak perempuan
didekatkan ke ayah. Apa maknanya?
Anak lelaki didekatkan ke ibu agar seorang lelaki
yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis, maka di
saat yang sama harus memahami secara empati langsung dari sosok wanita
terdekatnya, yaitu ibunya, bagaimana lawan jenisnya harus diperhatikan,
dipahami dan diperlakukan dari kacamata perempuan bukan kacamata lelaki. Bagi
anak lelaki, ibunya harus menjadi sosok wanita ideal pertama baginya sekaligus
tempat curhat baginya. Anak lelaki yang tidak dekat dengan ibunya di tahap ini,
tidak akan pernah memahami bagaimana memahami perasaan, fikiran dan pensikapan
perempuan dan kelak juga istrinya. Tanpa ini, anak lelaki akan menjadi lelaki
yg tidak dewasa, atau suami yang kasar, egois dsbnya. Pada tahap ini, anak
perempuan didekatkan ke ayah agar seorang perempuan yang di masa balighnya
sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis, maka disaat yang sama harus
memahami secara empati langsung dari sosok lelaki terdekatnya, yaitu ayahnya,
bagaimana lelaki harus diperhatikan, dipahami dan diperlakukan dari kacamata
lelaki bukan kacamata perempuan. Bagi anak perempuan, ayahnya harus menjadi
sosok lelaki ideal pertama baginya sekaligus tempat curhat baginya.
Anak perempuan yang tidak dekat ayahnya di tahap
ini, kelak berpeluang besar menyerahkan tubuh dan kehormatannya pada lelaki
yang dianggap dapat menggantikan sosok ayahnya yang hilang dimasa sebelumnya. Semoga
kita dapat merenungi mendalam dan menerapkannya dalam pendidikan fitrah
seksualitas anak anak kita, agar anak anak lelaki kita tumbuh menjadi lelaki
dan ayah sejati, dan agar anak anak perempuan kita tumbuh menjadi perempuan dan
ibu sejati.
Agar para propagandis homo seksualitas tidak
lebih pkitai menyimpangkan fitrah seksualitas anak anak kita daripada kepkitaian
kita menumbuhkan fitrah seksualitas anak anak kita. Agar ahli kebathilan gigit
jari berputus asa, karena kita lebih ahli dan berdaya mendidik fitrah anak anak
kita.
No comments:
Post a Comment