Thursday 22 March 2018

Syukuri nikmat Alloh SWT dan bersabarlah ketika di Uji

                           
Syukuri nikmat Alloh SWT dan bersabarlah ketika di Uji

Bila kita ingin menghitung banyaknya  nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada satupun manusia yang bisa mampu menghitungnya, meski menggunakan alat secanggih apapun. Pernahkah kita berpikir, untuk apa Alloh SWT memberikan demikian banyak nikmat kepada kita  para hamba-Nya? Untuk sekedar menghabiskan nikmat-nikmat tersebut atau adakah  tujuan lain?

Banyaknya Pemberian Alloh SWT
Sungguh betapa besar dan luas nikmat yang telah dikaruniakan Alloh SWT kepada kita sebagai hambanya. Setiap hari silih berganti kita merasakan satu nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain, namun kadang kita tidak merasakan bahwa itu adalah nikmat Alloh. Di mana kita terkadang tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan banyak karena tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung dengan alat secanggih apapun di jaman modern ini.

Semua itu  tentunya kita harus berfikit  untuk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih sayang Alloh SWT kepada hamba-hamba-Nya. Dalam realita kehidupan, kita menemukan keadaan yang sangat  memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dalam kondisi keingkaran dan kekufuran atas nikmat yang telah diterimanya. Puncaknya adalah menyamakan pemberi nikmat dengan makhluk, yang keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tentu hal ini termasuk dari kedzaliman yang sangat besar sebagaimana dijelaskan oleh Alloh SWT di dalam firman-Nya:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar.” (Luqman: 13)

Namun demikian, Alloh SWT senantiasa  memberikan kepada mereka sebagian karunia-Nya disebabkan “kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya” dan membukakan bagi mereka pintu untuk bertaubat. Oleh karenaya  tidak ada alasan bagi kita sebagai hamba ini untuk:
-          Ingkar dan kufur kepada Alloh SWT serta menyamakan Alloh SWT dengan makhluk-Nya yang sangat butuh kepada-Nya.
-          Menyombongkan diri serta angkuh dengan tidak mau melaksanakan perintah Alloh SWT dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau tidak mau menerima kebenaran dan mengentengkan orang lain.
-          Tidak mensyukuri pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Alloh SWT berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ

“Dan nikmat apapun yang kalian dapatkan adalah datang dari Allah.” (An-Nahl: 53)

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا

“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan sanggup.”(An-Nahl: 18)

Pemberian Alloh SWT untuk Satu Tujuan yang Mulia bagi hambanya
Dari sekian nikmat yang telah dikaruniakan oleh Alloh SWT kepada kita, mari kita mencoba menghitungnya. Sudah berapakah dalam perhitungan  kita nikmat yang telah kita syukuri dan dari sekian nikmat yang telah kita pergunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Maka jika kita temukan bahwa banyak nikmat yang kita syukuri, maka pujilah Alloh SWT karena Dia telah memberimu kesempatan yang baik. Jika kita menemukan sebaliknya maka janganlah engkau mencela melainkan dirimu sendiri.

Setiap orang bisa mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tahukah anda apa rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut?

Harus kita ketahui  bahwa kenikmatan yang berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakannya manusia dan bukan pula sebagai wujud cinta Alloh SWT kepada manusia tersebut, bisa jadi kenikamatan dunia yang melimpah itu merupakan istijroj . Alloh SWT menciptakan manusia untuk sebuah kemuliaan baginya dan menjadikan segala nikmat itu sebagai perantara untuk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu adalah untuk beribadah kepada Alloh SWT saja, sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Bagi orang yang berakal akan berusaha mencari rahasia di balik pemberian Alloh SWT yang berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan jawabannya, yaitu untuk beribadah kepada-Nya saja, maka dia akan mengetahui bahwa ternyata  dunia bukan sebagai tujuan dari semuanya.

Sebagai bukti yaitu adanya kematian setelah hidup ini dan adanya kehidupan setelah kematian diiringi dengan persidangan dan pengadilan serta pembalasan dari Alloh SWT. Itulah kehidupan yang hakiki di akhirat nanti. Kesimpulan seperti ini akan mengantarkan kepada:
1.      Dunia bukan tujuan hidup
2.       Kenikmatan yang ada padanya bukan tujuan diciptakan manusia, akan tetapi sebagai perantara untuk suatu tujuan yang mulia.
3.      Semangat beramal untuk tujuan hidup yang hakiki dan kekal.
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan:
“Ketahuilah bahwa nikmat itu ada dua bentuk, nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi perantara menuju tujuan.
Nikmat yang merupakan tujuan adalah kebahagiaan akhirat dan nilainya akan kembali kepada empat perkara.
1.      Kekekalan dan tidak ada kebinasaan setelahnya
2.      Kebahagian yang tidak ada duka setelahnya,
3.       Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya,
4.      Kaya yang tidak ada kefakiran setelahnya.
Semua ini merupakan kebahagiaan yang hakiki.
Adapun bagian yang kedua (dari dua jenis nikmat) adalah sebagai perantara menuju kebahagiaan yang disebutkan dan ini ada empat perkara:
1.      Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yang baik
2.      Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya
3.      Keutamaan yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga.
4.      Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut dengan segala keutamaan seperti hidayah, bimbingan, kebaikan, pertolongan, dan semua nikmat ini adalah besar.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 282)
Untaian Indah dari Ibnu Qudamah
“Ketahuilah bahwa segala yang dicari oleh setiap orang adalah nikmat. Akan tetapi kenikmatan yang hakiki adalah kebahagiaan di akhirat kelak dan segala nikmat selainnya akan lenyap.
Semua perkara yang disandarkan kepada kita ada empat macam:
1.      Sesuatu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat seperti ilmu dan akhlak yang baik. Inilah kenikmatan yang hakiki.
2.      Sesuatu yang memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala’ (kerugian) yang hakiki.
3.      Bermanfaat di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat dan mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguhnya bala bagi orang yang berakal, sekalipun orang jahil menganggapnya nikmat. Seperti seseorang yang sedang lapar lalu menemukan madu yang bercampur racun. Bila tidak mengetahuinya, dia menganggap sebuah nikmat dan jika mengetahuinya dia menganggapnya sebagai malapetaka.
4.      Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di akhirat sebagai nikmat bagi orang yang berakal.
Contohnya obat, bila dirasakan sangat pahit dan pada akhirnya akan menyembuhkan (dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala).Seorang anak bila dipaksa untuk meminumnya dia menyangka sebagai malapetaka dan orang yang berakal akan menganggapnya sebagai nikmat. Demikian juga bila seorang anak butuh untuk dibekam, sang bapak berusaha menyuruh dan memerintahkan anaknya untuk melakukannya. Namun sang anak tidak bisa melihat akibat di belakang yang akan muncul berupa kesembuhan.

(Begitupun) sang ibu akan berusaha mencegah karena cintanya yang tinggi kepada anak tersebut karena sang ibu tidak tahu tentang maslahat yang akan muncul dari pengobatan tersebut.

Sang anak menuruti apa kata ibunya. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuannya sehingga ia lebih menuruti ibunya daripada bapaknya. Bersamaan dengan itu sang anak menganggap bapaknya sebagai musuh. Jika sang anak berakal, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa sang ibu merupakan musuh sesungguhnya dalam wujud teman dekat. Karena larangan sang ibu untuk berbekam akan menggiringnya kepada penyakit yang lebih besar dibandingkan sakit karena berbekam.

Karena itu, teman yang jahil lebih berbahaya dari seorang musuh yang berakal. Dan setiap orang menjadi teman dirinya sendiri, akan tetapi nafsu merupakan teman yang jahil. Nafsu akan berbuat pada dirinya apa yang tidak diperbuat oleh musuh.” (Minhajul Qashidin hal. 281-282)

Syukur dalam Tinjauan Bahasa dan Agama
Syukur secara bahasa adalah nampaknya bekas makan pada badan binatang dengan jelas. Binatang yang syakur artinya: Apabila nampak padanya kegemukan karena makan melebihi takarannya.

Adapun dalam tinjauan agama, syukur adalah: Nampaknya pengaruh nikmat Alloh SWT atas seorang hamba melalui lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan cara meyakininya dan cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan. (Madarijus Salikin, 2/244)

Ada juga yang mendefinisikan syukur dengan makna lain seperti:

1. Mengakui nikmat yang diberikan dengan penuh ketundukan.
2. Memuji yang memberi nikmat atas nikmat yang diberikannya.
3. Cinta hati kepada yang memberi nikmat dan (tunduknya) anggota badan dengan ketaatan serta lisan dengan cara memuji dan menyanjungnya.
4. Menyaksikan kenikmatan dan menjaga (diri dari) keharaman.
5. Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.
6. Menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberinya dengan ketenangan.
7. Engkau melihat dirimu orang yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat.
8. Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak ada.

Masih banyak lagi definisi para ulama tentang syukur, akan tetapi semuanya kembali kepada penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas.

Yang jelas, syukur adalah sebuah istilah yang digunakan pada pengakuan/ pengetahuan akan sebuah nikmat. Karena mengetahui nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Dzat yang memberi nikmat. Oleh karena itu Alloh SWT menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur`an dengan syukur. Dari sini diketahui bahwa mengetahui sebuah nikmat merupakan rukun dari rukun-rukun syukur. (Madarijus Salikin, 2/247)

Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintai-Nya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya. (Madarijus Salikin, 2/247, secara ringkas)

Syukur Tidak Sempurna Melainkan dengan Mengetahui Apa yang Dicintai Alloh SWT
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan:

“Ketahuilah bahwa syukur dan tidak kufur tidak akan sempurna melainkan dengan mengetahui segala apa yang dicintai oleh Alloh SWT. Sebab makna syukur adalah mempergunakan segala karunia Alloh SWT kepada apa yang dicintai-Nya, dan kufur nikmat adalah sebaliknya. Bisa juga dengan tidak memanfaatkan nikmat tersebut atau mempergunakannya pada apa yang dimurkai-Nya.”

Makna Syukur
Syukur memiliki tiga makna.

Pertama: Mengetahui (pemberian tersebut) adalah sebuah nikmat. Artinya dia menghadirkan dalam benaknya, mempersaksikan, dan memilahnya. Hal ini akan bisa terwujud dalam benak sebagaimana terwujud dalam kenyataan. Sebab banyak orang yang jika engkau berbuat baik kepadanya namun dia tidak mengetahui (bahwa itu adalah perbuatan baik). Gambaran ini bukan termasuk dari syukur.

Kedua: Menerima nikmat tersebut dengan menampakkan butuhnya kepadanya. Dan bahwa sampainya nikmat tersebut kepadanya bukan sebagai satu keharusan hak baginya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tanpa membelinya dengan harga. Bahkan dia melihat dirinya di hadapan Alloh SWT seperti seorang tamu yang tidak diundang.

Ketiga: Memuji yang memberi nikmat. Dalam hal ini ada dua bentuk, yaitu umum dan khusus. Pujian yang bersifat umum adalah menyifati pemberi nikmat dengan sifat dermawan, kebaikan, luas pemberiannya, dan sebagainya. Pujian yang bersifat khusus adalah menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukan bahwa nikmat tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang Pemberi tersebut. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11) [Madarijus Salikin, 2/247-248]

Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur
Menceritakan sebuah nikmat yang dia dapatkan kepada orang lain termasuk dalam kategori syukur. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي بِهِ فَلْيُثْنِ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ

“Barangsiapa yang diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalasnya dan jika dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya hendaklah dia memujinya. Karena jika dia memujinya sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia menyembunyikannya sungguh dia telah kufur. Dan barangsiapa yang berhias dengan sesuatu yang dia tidak diberi, sama halnya dengan orang yang memakai dua ­baju kedustaan.” (HR. Abu Dawud no. 4179, At-Tirmidzi no. 1957 dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma)

Alloh SWT berfirman:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11)

Menceritakan nikmat yang diperintahkan di dalam ayat ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.

Pertama: Menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukannya kepada orang lain seperti dengan ucapan: “Alloh SWT telah memberiku nikmat demikian dan demikian.”
Kedua: Menceritakan nikmat yang dimaksud di dalam ayat ini adalah berdakwah di jalan Alloh SWT menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat.

Dari kedua pendapat tersebut, Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam Madarijus Salikin (2/249) mentarjih dengan perkataan beliau: “Yang benar, ayat ini mencakup kedua makna tersebut. Karena masing-masingnya adalah nikmat yang kita diperintahkan untuk mensyukurinya, menceritakannya, dan menampakkannya sebagai wujud kesyukuran.”

Beliau berkata: “Dalam sebuah atsar yang lain dan marfu’ disebutkan:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ

“Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas yang banyak dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Menceritakan sebuah nikmat (yang didapati) kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkannya adalah kufur, bersatu adalah rahmat dan bercerai berai adalah azab.” (HR. Ahmad dari An-Nu’man bin Basyir) [Madarijus Salikin, 2/248]

Dengan Apa Seorang Hamba Bersyukur?
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan:

“Syukur bisa dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Adapun dengan hati adalah berniat untuk melakukan kebaikan dan menyembunyikannya pada khayalak ramai. Adapun dengan lisan adalah menampakkan kesyukuran itu dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala. Artinya, menampakkan keridhaan kepada Allah 'Azza wa Jalla. Dan hal ini sangat dituntut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

التَّحَدُّثُ بِالنِّعَمِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ

‘Menceritakan nikmat itu adalah wujud kesyukuran dan meninggalkannya adalah wujud kekufuran.’

Adapun dengan anggota badan adalah mempergunakan nikmat-nikmat Alloh SWT tersebut dalam ketaatan kepada-Nya dan menjaga diri dari bermaksiat dengannya. Termasuk kesyukuran terhadap nikmat kedua mata adalah dengan cara menutup setiap aib yang dilihat pada seorang muslim. Dan termasuk kesyukuran atas nikmat kedua telinga adalah menutup setiap aib yang didengar. Penampilan seperti ini termasuk wujud kesyukuran terhadap anggota badan.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 277)

Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan:
“Syukur itu bisa dilakukan oleh hati dengan tunduk dan kepasrahan, oleh lisan dengan mengakui nikmat tersebut, dan oleh anggota badan dengan ketaatan dan penerimaan.” (Madarijus Salikin, 2/246)

Derajat Syukur
Syukur memiliki tiga tingkatan:

Pertama: Bersyukur karena mendapatkan apa yang disukai.

Tingkat syukur ini bisa juga dilakukan orang Islam dan non Islam, seperti Yahudi dan Nasrani, bahkan Majusi. Namun Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Jika engkau mengetahui hakikat syukur, dan di antara hakikat syukur adalah menjadikan nikmat tersebut membantu dalam ketaatan kepada Alloh SWT dan mencari ridha-Nya, niscaya engkau akan mengetahui bahwa kaum musliminlah yang pantas menyandang derajat syukur ini.

‘Aisyah radhiyallahu 'anha telah menulis surat kepada Mu’awiyah radhiyallahu 'anhu: ‘Sesungguhnya tingkatan kewajiban yang paling kecil atas orang yang diberi nikmat adalah tidak menjadikan nikmat tersebut sebagai jembatan untuk bermaksiat kepada-Nya’.” (Madarijus Salikin, 2/253)

Kedua: Mensyukuri sesuatu yang tidak disukai.
Orang yang melakukan jenis syukur ini adalah orang yang sikapnya sama dalam semua keadaan, sebagai bukti keridhaannya.

Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan:
“Bersyukur atas sesuatu yang tidak disukai lebih berat dan lebih sulit dibandingkan mensyukuri yang disenangi. Oleh sebab itulah, syukur yang kedua ini di atas jenis syukur yang pertama. Syukur jenis kedua ini tidak dilakukan kecuali oleh salah satu dari dua jenis orang:

q Seseorang yang semua keadaannya sama. Artinya, sikapnya sama terhadap yang disukai dan tidak disukai, dan dia bersyukur atas semuanya sebagai bukti keridhaan dirinya terhadap apa yang terjadi. Ini merupakan (gambaran) kedudukan ridha.
 Seseorang yang bisa membedakan keadaannya. Dia tidak menyukai
q sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak ridha bila menimpanya. Namun bila sesuatu yang tidak menyenangkan menimpanya, dia tetap mensyukurinya. Kesyukurannya (dia jadikan) sebagai pemadam kemarahannya, sebagai penutup dari berkeluh kesah, dan demi menjaga adab serta menempuh jalan ilmu. Karena sesungguhnya adab dan ilmu akan membimbing seseorang untuk bersyukur di waktu senang maupun susah.
Tentunya yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. (Madarijus Salikin, 2/254)

Ketiga: Seseorang seolah-olah tidak menyaksikan kecuali Yang memberinya kenikmatan.
Artinya, bila dia melihat yang memberinya kenikmatan dalam rangka ibadah, dia akan menganggap besar nikmat tersebut. Dan bila dia menyaksikan yang memberi kenikmatan karena rasa cinta, niscaya semua yang berat akan terasa manis baginya.

Manusia dan Syukur
Kita telah mengetahui bahwa syukur merupakan salah satu sifat yang terpuji dan sifat yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Artinya, ada yang diberi oleh Alloh SWT dan ada pula yang tidak.

Manusia dan syukur terbagi menjadi tiga golongan:

Pertama: Orang yang mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kedua: Orang yang menentang nikmat yang diberikan alias kufur nikmat.
Ketiga: Orang yang berpura-pura syukur padahal dia bukan orang yang bersyukur. Orang yang seperti ini dimisalkan dengan orang yang berhias dengan sesuatu yang tidak dia tidak miliki. (Madarijus Salikin, 2/48)

Dalil-dalil tentang Syukur

وَاشْكُرُوا لِلهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

“Bersyukurlah kalian kepada Allah jika hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (Al-Baqarah: 172)

فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ

“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan jangan kalian kufur." (Al-Baqarah: 152)

وَاعْبُدُوْهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

“Dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya dan kepada-Nya kalian dikembalikan." (Al-'Ankabut: 17)

وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِيْنَ

“Dan Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur.” (Ali 'Imran: 144)

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ

“Dan ingatlah ketika Rabb kalian memaklumkan: Jika kalian bersyukur niscaya Kami akan menambah (nikmat Kami) dan jika kalian mengkufurinya sungguh azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata:

أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا؟

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun di malam hari sampai pecah-pecah kedua kaki beliau lalu ‘Aisyah berkata: ‘Ya Rasulullah, kenapa engkau melakukan yang demikian, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lewat dan akan datang?’ Beliau menjawab: ‘Apakah aku tidak suka menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Al-Bukhari no 4660 dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha)

Masih banyak dalil lain yang menjelaskan tentang keutamaan syukur dan anjuran dari Alloh SWT dan Rasul-Nya. Semoga apa yang dibawakan di sini mewakili yang tidak disebutkan.

Ancaman bagi Orang-Orang yang Tidak Bersyukur
Yang tidak bersyukur lebih banyak dari yang bersyukur. Hal ini tidak bisa dipungkiri oleh orang yang berakal bersih. Sebagaimana orang yang ingkar kepada Alloh SWT lebih banyak dari yang beriman. Demikianlah keterangan Alloh SWT di dalam firman-Nya:

وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

“Dan sedikit dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (Saba`: 13)

Sebuah peringatan tentu akan bermanfaat bagi orang yang beriman. Di mana Alloh SWT telah memperingatkan dari kufur nikmat setelah memerintahkan untuk bersyukur dan menjelaskan keutamaan yang akan di dapatinya sebagaimana penjelasan Al-Imam As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsir beliau: “Jika seseorang bersyukur niscaya Alloh SWT akan mengabadikan nikmat yang dia berada padanya dan menambahnya dengan nikmat yang lain.”

Alloh SWT berfirman:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ

“Dan Rabb kalian telah mengumumkan jika kalian bersyukur niscaya Kami akan menambah (nikmat Kami) dan jika kalian mengkufurinya sungguh azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan:
“Jika kalian mengkufuri nikmat, menutup-nutupinya dan menentangnya maka (azab-Ku sangat pedih) yaitu dengan dicabutnya nikmat tersebut dan siksa Alloh SWT menimpanya dengan sebab kekufurannya. Dan disebutkan dalam sebuah hadits: ‘Sesungguhnya seseorang diharamkan untuk mendapatkan rizki karena dosa yang diperbuatnya’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/637)

Syukur dan Sabar
Kita akan bertanya:
“Jika engkau ditimpa sebuah musibah lalu engkau mensyukurinya, maka tentu pada sikap kesyukuranmu terdapat sifat sabar dan sifat ridha terhadap musibah yang menimpa dirimu. Dan kita mengetahui bahwa ridha merupakan bagian dari kesabaran. Sementara syukur merupakan buah dari sifat ridha.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan:
“Syukur termasuk kedudukan yang paling tinggi dan lebih tinggi -bahkan jauh libih tinggi- daripada kedudukan ridha. Di mana sifat ridha masuk dalam syukur, karena mustahil syukur ada tanpa ridha.” (Madarijus Salikin, 2/242)

Kenapa Kebanyakan Orang Tidak Bersyukur?
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan:

“Makhluk ini tidak mau mensyukuri nikmat karena padanya ada dua (sifat) yaitu kejahilan dan kelalaian. Kedua sifat ini menghalangi mereka untuk mengetahui nikmat. Karena tidak tergambar bahwa seseorang akan bisa bersyukur tanpa mengetahui nikmat (sebuah pemberian). Jika pun mereka mengetahui nikmat, mereka menyangka bahwa bersyukur itu hanya sebatas mengucapkan alhamdulillah atau syukrullah dengan lisan. Mereka tidak mengetahui bahwa makna syukur adalah mempergunakan nikmat pada jalan ketaatan kepada Alloh SWT.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 288)

Kesimpulan ucapan Ibnu Qudamah rahimahullahu adalah bahwa manusia banyak tidak bersyukur karena ada dua perkara yang melandasinya yaitu kejahilan dan kelalaian.

Mengobati Kelalaian dari Bersyukur
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan:

“Hati yang hidup akan menggali segala macam nikmat diberikan. Adapun hati yang jahil (lalai) tidak akan menganggap sebuah nikmat sebagai nikmat kecuali setelah bala’ menimpanya. Caranya, hendaklah dia terus memandang kepada yang lebih rendah darinya dan berusaha berbuat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Mendatangi tempat orang yang sedang sakit dan melihat berbagai macam ujian yang sedang menimpa mereka, kemudian berpikir tentang nikmat sehat dan keselamatan. Menyaksikan jenazah orang yang terbunuh, dipotong tangan mereka, kaki-kaki mereka dan diazab, lalu dia bersyukur atas keselamatan dirinya dari berbagai azab.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 290)

Wallahu a’lam.



Monday 19 March 2018

Jalan Menuju Kebahagiaan


Jalan Menuju Kebahagiaan
Banyak cara dilakukan oleh kebanyakan orang untuk meraih kebahagiaan. Sebagian mereka beranggapan bahwa kebahagiaan bisa diraih dengan banyaknya harta, kedudukan yang terpandang, dan popularitas yang selalu meningkat dan pantang surut. Tak heran bila manusia berlomba-lomba mendapatkan itu semua, termasuk dengan menggunakan berbagai macam  cara. Lantas apakah bila seseorang sudah menjadi kaya raya, terpandang, dan terkenal otomatis menjadi orang yang selalu bahagia? Ternyata tidak! Kalau begitu, bagaimana cara meraih kebahagiaan yang benar?
Mungkin anda termasuk satu dari sekian orang yang tengah berupaya mencari cara untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan hidup. Sehingga anda sibuk membolak-balik majalah, tabloid, dan semisalnya, atau mendatangi orang yang berpengalaman untuk mencari kiat-kiat hidup bahagia. Mungkin kiatnya sudah anda dapatkan namun ketika dipraktekkan, kebahagiaan dan ketenangan itu tak kunjung datang. Sementara kebahagiaan dan ketenangan hidup merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting, apalagi bila kehidupan selalu dibelit dan didera dengan permasalahan, kesedihan dan kegundah gulanaan, akan semakin terasalah butuhnya kebahagian, atau paling tidak ketenangan dan kelapangan hati ketika menghadapi segala masalah.

Namun sepertinya semua orang hampir sepakat bahwa bahagia tidak sepenuhnya diperoleh dengan harta dan kekayaan karena berapa banyak orang yang hidup bergelimang harta namun mereka tidak bahagia. Terkadang malah mereka belajar tentang kebahagiaan dari orang yang tidak berpunya.
Sebenarnya kebahagiaan hidup yang hakiki dan ketenangan hanya didapatkan dalam agama Islam yang mulia ini. Sehingga yang dapat hidup bahagia dalam arti yang sebenarnya hanyalah orang-orang yang berpegang teguh dengan agama ini. Ada beberapa cara yang diajarkan agama ini untuk dapat mencapai hidup bahagia, di antaranya disebutkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah dalam kitabnya Al-Wasailul Mufidah lil Hayatis Sa‘idah:

1. Beriman dan beramal shalih. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَياَةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ ماَ كَانُوا يَعْمَلُوْنَ

“Siapa yang beramal shalih baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan ia beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (An-Nahl: 97)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Ini adalah janji dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada orang yang beramal shalih yaitu amalan yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan dari keturunan Adam, sementara hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berjanji untuk memberikan kehidupan yang baik baginya di dunia dan membalasnya di akhirat dengan pahala yang lebih baik daripada amalannya. Kehidupan yang baik mencakup seluruh kesenangan dari berbagai sisi. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dan sekelompok ulama bahwa mereka menafsirkan kehidupan yang baik (dalam ayat ini) dengan rezki yang halal lagi baik (halalan thayyiban), sementara Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu menafsirkannya dengan sifat qana’ah (merasa cukup), demikian pula yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah dan Wahb bin Munabbih. Berkata ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas: “Sesunggguhnya kehidupan yang baik itu adalah kebahagiaan.” Al-Hasan, Mujahid, dan Qatadah berkata: “Tidak ada bagi seorang pun kehidupan yang baik kecuali di surga.” Sedangkan Adh-Dhahhak mengatakan: “Ia adalah rizki yang halal dan ibadah di dunia serta beramal ketaatan dan lapang dada untuk taat.” Yang benar dalam hal ini adalah kehidupan yang baik mencakup seluruh perkara tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/421)

2. Banyak mengingat Allah (berdzikir) karena dengan dzikir kepada-Nya akan diperoleh kelapangan dan ketenangan, yang berarti akan hilang kegelisahan dan kegundah gulanaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبِ
“Ketahuilah dengan mengingat (berdzikir) kepada Allah akan tenang hati itu.” (Ar-Ra’d: 28)

3. Bersandar kepada Allah dan tawakkal pada-Nya, yakin dan percaya kepada-Nya dan bersemangat untuk meraih keutamaan-Nya. Dengan cara seperti ini seorang hamba akan memiliki kekuatan jiwa dan tidak mudah putus asa serta gundah gulana. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Siapa yang bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq: 3)

4. Berbuat baik kepada makhluk dalam bentuk ucapan maupun perbuatan dengan ikhlas kepada Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لاَ خَيْرَ فِي كَثِيْرٍ مِّنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوْفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغآءَ مَرْضَاةِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ أَجْرًا عَظِيْماً
“Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh ( manusia) untuk bersedekah atau berbuat kebaikan dan ketaatan atau memperbaiki hubungan di antara manusia. Barangsiapa melakukan hal itu karena mengharapkan keridhaan Allah, niscaya kelak Kami akan berikan padanya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas:
“Yakni tidak ada kebaikan dalam kebanyakan pembicaraan di antara manusia dan tentunya jika tidak ada kebaikan maka bisa jadi yang ada adalah ucapan tak berfaedah seperti berlebih-lebihan dalam pembicaraan yang mubah atau bisa jadi kejelekan dan kemudlaratan semata-mata seperti ucapan yang diharamkan dengan seluruh jenisnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala mengecualikan: “Kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) untuk bersedekah,” dari harta ataupun ilmu (dengan mengajarkannya–pen) atau sesuatu yang bermanfaat, bahkan bisa jadi masuk pula di sini ibadah-ibadah seperti bertasbih, bertahmid, dan semisalnya sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah dan setiap tahlil adalah sedekah. Demikian pula amar ma‘ruf merupakan sedekah, nahi mungkar adalah sedekah dan dalam kemaluan salah seorang dari kalian ada sedekah (dengan menggauli istri)….” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 202)

5. Menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat.
6. Mencurahkan perhatian dengan apa yang sedang dihadapi disertai permintaan tolong kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tanpa banyak berangan-angan (terhadap perkara dunia) untuk masa yang akan datang karena akan berbuah kegelisahan disebabkan takut/ khawatir menghadapi masa depan (di dunia) dan juga tanpa terus meratapi kegagalan dan kepahitan masa lalu karena apa yang telah berlalu tidak mungkin dapat dikembalikan dan diraih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجزْ، وَإِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَل الشَّيْطَانِ
“Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah lemah. Bila menimpamu sesuatu (dari perkara yang tidak disukai) janganlah engkau berkata: “Seandainya aku melakukan ini niscaya akan begini dan begitu,” akan tetapi katakanlah: “Allah telah menetapkan dan apa yang Dia inginkan Dia akan lakukan,” karena sesungguhnya kalimat ‘seandainya’ itu membuka amalan syaithan.” (HR. Muslim)

7. Senantiasa mengingat dan menyebut nikmat yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik nikmat lahir maupun batin. Dengan melakukan hal ini seorang hamba terdorong untuk selalu bersyukur kepada-Nya sampaipun saat ia ditimpa sakit atau berbagai musibah lainnya. Karena bila ia membandingkan kenikmatan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala limpahkan padanya dengan musibah yang menimpanya sungguh musibah itu terlalu kecil. Bahkan musibah itu sendiri bila dihadapi dengan sabar dan ridha merupakan kenikmatan karena dengannya dosa-dosa akan diampuni dan pahala yang besar pun menanti.
8. Selalu melihat orang yang di bawah dari sisi kehidupan dunia misalnya dalam masalah rezki karena dengan begitu kita tidak akan meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan jangan melihat orang yang di atas kalian karena dengan (melihat ke bawah) lebih pantas untuk kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
9. Ketika melakukan sesuatu untuk manusia, jangan mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan dari mereka namun berharaplah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga engkau tidak peduli mereka mau berterima kasih atau tidak dengan apa yang telah engkau lakukan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang ucapan hamba-hamba-Nya yang khusus:

إِنَّماَ نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَ نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزآءً وَلاَ شُكُوْراً
“Kami memberi makan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah, kami tidak menginginkan dari kalian balasan dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al-Insan: 9)

Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan hidup. Sebagai akhir teruntai doa kepada Rabbul ‘Izzah :

اللّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِيْنِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيْهَا مَعَاشِي، وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي إِلَيْهَا مَعَادِيْ وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلَِّ خَيْرٍ وَالْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang agama ini merupakan penjagaan perkaraku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang aku hidup di dalamnya, dan perbaikilah bagiku akhiratku yang merupakan tempat kembaliku, dan jadikanlah hidup ini sebagai tambahan bagiku dalam seluruh kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan bagiku dari seluruh kejelekan.” (HR. Muslim)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.


Sunday 18 March 2018

Istri sholihah, sifat dan keutamaanya


Istri sholihah, sifat dan keutamaanya
Apa yang sering diangankan oleh kebanyakan laki-laki tentang mar’ah yang bakal menjadi pendamping hidupnya? Cantik, kaya, punya kedudukan, karir bagus, dan baik pada suami. Inilah keinginan yang banyak muncul. Sebuah keinginan yang lebih tepat disebut angan-angan, karena jarang ada mar’ah yang memiliki sifat demikian. Kebanyakan laki-laki lebih memperhatikan penampilan dzahir, sementara unsur akhlak dari mar’ah tersebut kurang diperhatikan. Padahal akhlak dari pasangan hidupnya itulah yang akan banyak berpengaruh terhadap kebahagiaan rumah tangganya.
Seorang muslim yang shalih, ketika membangun mahligai rumah tangga maka yang menjadi dambaan dan cita-citanya adalah agar kehidupan rumah tangganya kelak berjalan dengan baik, dipenuhi mawaddah wa rahmah, sarat dengan kebahagiaan, adanya saling ta‘awun (tolong menolong), saling memahami dan saling mengerti. Dia juga mendamba memiliki istri yang pandai memposisikan diri untuk menjadi naungan ketenangan bagi suami dan tempat beristirahat dari ruwetnya kehidupan di luar. Ia berharap dari rumah tangga itu kelak akan lahir anak turunannya yang shalih yang menjadi qurratu a‘yun (penyejuk mata) baginya.
Demikian harapan demi harapan dirajutnya sambil meminta kepada Ar-Rabbul A‘la (Allah Yang Maha Tinggi) agar dimudahkan segala urusannya. Namun tentunya apa yang menjadi dambaan seorang muslim ini tidak akan terwujud dengan baik terkecuali bila mar’ah yang dipilihnya untuk menemani hidupnya adalah mar’ah shalihah. Karena hanya mar’ah shalihah yang dapat menjadi teman hidup yang sebenarnya dalam suka maupun lara, yang akan membantu dan mendorong suaminya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hanya dalam diri mar’ah shalihah tertanam aqidah tauhid, akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur. Dia akan berupaya ta‘awun dengan suaminya untuk menjadikan rumah tangganya bangunan yang kuat lagi kokoh guna menyiapkan generasi Islam yang diridhai Ar-Rahman.
Sebaliknya, bila yang dipilih sebagai pendamping hidup adalah mar’ah yang tidak terdidik dalam agama dan tidak berpegang dengan agama, maka dia akan menjadi duri dalam daging dan musuh dalam selimut bagi sang suami. Akibatnya rumah tangga selalu sarat dengan keruwetan, keributan, dan perselisihan. Istri seperti inilah yang sering dikeluhkan oleh para suami, sampai-sampai ada di antara mereka yang berkata: “Aku telah berbuat baik kepadanya dan memenuhi semua haknya namun ia selalu menyakitiku.”
Duhai kiranya mar’ah itu tahu betapa besar hak suaminya, duhai kiranya dia tahu akibat yang akan diperoleh dengan menyakiti dan melukai hati suaminya….! Namun dari mana pengetahuan dan kesadaran itu akan didapatkan bila dia jauh dari pengajaran dan bimbingan agamanya yang haq? Wallahu Al-Musta‘an.
Keutamaan mar’ah shalihah, Abdullah bin Amr radhiallahu 'anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
الدُّنْيَا مَتاَعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَة
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan2 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah mar’ah shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu:

أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya3, bila diperintah4 akan mentaatinya5, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”) Berkata Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah:
“Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya bahwa tidak berdosa mereka mengumpulkan harta selama mereka menunaikan zakatnya, beliau memandang perlunya memberi kabar gembira kepada mereka dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih baik dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah yang cantik (lahir batinnya) karena ia akan selalu bersamamu menemanimu. Bila engkau pandang menyenangkanmu, ia tunaikan kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya. Engkau dapat bermusyawarah dengannya dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan menjaga rahasiamu. Engkau dapat meminta bantuannya dalam keperluan-keperluanmu, ia mentaati perintahmu dan bila engkau meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan memelihara/mengasuh anak-anakmu.” (‘Aunul Ma‘bud, 5/57) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah pula bersabda:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشّقَاءِ: الْجَارُ السّوءُ، وَاَلْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَركَبُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ.
“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu mar’ah (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid hal. 302, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)
Ketika Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam,menjawab:

لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَة
“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505).
Cukuplah kemuliaan dan keutamaan bagi mar’ah shalihah dengan anjuran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin menikah untuk mengutamakannya dari yang selainnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأََرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Mar’ah itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu mar’ah yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)
Empat hal tersebut merupakan faktor penyebabdipersuntingnya seorang mar’ah dan ini merupakan pengabaran berdasarkan kenyataan yang biasa terjadi di tengah manusia, bukan suatu perintah untuk mengumpulkan perkara-perkara tersebut, demikian kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah. Namun dzahir hadits ini menunjukkan boleh menikahi mar’ah karena salah satu dari empat perkara tersebut, akan tetapi memilih mar’ah karena agamanya lebih utama. (Fathul Bari, 9/164)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“(فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ), maknanya: yang sepatutnya bagi seorang yang beragama dan memiliki muruah (adab) untuk menjadikan agama sebagai petunjuk pandangannya dalam segala sesuatu terlebih lagi dalam suatu perkara yang akan tinggal lama bersamanya (istri). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendapatkan seorang mar’ah yang memiliki agama di mana hal ini merupakan puncak keinginannya.” (Fathul Bari, 9/164)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Dalam hadits ini ada anjuran untuk berteman/ bersahabat dengan orang yang memiliki agama dalam segala sesuatu karena ia akan mengambil manfaat dari akhlak mereka (teman yang baik tersebut), berkah mereka, baiknya jalan mereka, dan aman dari mendapatkan kerusakan mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 10/52)
Sifat-sifat Istri Shalihah
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ
“Mar’ah (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34)
Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan di antara sifat mar’ah shalihah adalah taat kepada Allah
dan kepada suaminya dalam perkara yang ma‘ruf6 lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak berada di sampingnya.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata:
“Tugas seorang istri adalah menunaikan ketaatan kepada Rabbnya dan taat kepada suaminya, karena itulah Allah berfirman: “Mar’ah shalihah adalah yang taat,” yakni taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, “Lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” Yakni taat kepada suami mereka bahkan ketika suaminya tidak ada (sedang bepergian, pen.), dia menjaga suaminya dengan menjaga dirinya dan harta suaminya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.177)
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadapi permasalahan dengan istri-istrinya sampai beliau bersumpah tidak akan mencampuri mereka selama sebulan, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam:

عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تآئِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سآئِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا
“Jika sampai Nabi menceraikan kalian,7 mudah-mudahan Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, muslimat, mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat dari kalangan janda ataupun gadis.” (At-Tahrim: 5)
Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan beberapa sifat istri yang shalihah yaitu:
Muslimat: mar’ah-mar’ah yang ikhlas (kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala), tunduk kepada perintah Allah ta‘ala dan perintah Rasul-Nya.
 Mukminat: mar’ah-mar’ah yang membenarkan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala
Qanitat: mar’ah-mar’ah yang taat
Taibat: mar’ah-mar’ah yang selalu bertaubat dari dosa-dosa mereka, selalu kembali kepada perintah (perkara yang ditetapkan) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam walaupun harus meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa nafsu mereka.
‘Abidat: mar’ah-mar’ah yang banyak melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (dengan mentauhidkannya karena semua yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur’an adalah tauhid, kata Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma).
Saihat: mar’ah-mar’ah yang berpuasa. (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu Katsir, 8/132)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْت

“Apabila seorang mar’ah shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad 1/191, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 660, 661)
Dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa sifat istri yang shalihah adalah sebagai berikut:
Mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mempersembahkan ibadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Tunduk kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, terus menerus dalam ketaatan kepada-Nya dengan banyak melakukan ibadah seperti shalat, puasa, bersedekah, dan selainnya. Membenarkan segala perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Menjauhi segala perkara yang dilarang dan menjauhi sifat-sifat yang rendah.
Selalu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bertaubat kepada-Nya sehingga lisannya senantiasa dipenuhi istighfar dan dzikir kepada-Nya. Sebaliknya ia jauh dari perkataan yang laghwi, tidak bermanfaat dan membawa dosa seperti dusta, ghibah, namimah, dan lainnya.
Menaati suami dalam perkara kebaikan bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan melaksanakan hak-hak suami sebaik-baiknya.
Menjaga dirinya ketika suami tidak berada di sisinya. Ia menjaga kehormatannya dari tangan yang hendak menyentuh, dari mata yang hendak melihat, atau dari telinga yang hendak mendengar. Demikian juga menjaga anak-anak, rumah, dan harta suaminya.
Sifat istri shalihah lainnya bisa kita rinci berikut ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan setelahnya:
1.       Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِى إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوقُ غَضْمًا حَتَّى تَرْضَى

“Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)
2.        Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.
3.       Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya.Asma’ bintu Yazid radhiallahu 'anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan mar’ah sedang duduk. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَلاَ تَفْعَلُوا، فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ

“Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)

4.       Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
5.       Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
6.       Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum mar’ah yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ

“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)
7.        Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436)

إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ
“Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)
Demikian yang dapat kami sebutkan dari keutamaan dan sifat-sifat istri shalihah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi taufik kepada kita agar dapat menjadi mar’ah yang shalihah, amin.

Siapakah dzul qornain ? Apakah sama dengan alexader agung ?


BENARKAH  Alexander Agung  ADALAH  Dzul Qarnain   ?

Dzul Qarnain mendapat dua anugerah Allah yang tidak sembarang orang mendapatkannya, yaitu mendapat petunjuk untuk menempuh jalan-jalan keberhasilan sekaligus ia diberi kemampuan untuk menempuhnya. Maka jadilah ia seorang raja dengan kekuatan besar, mampu menaklukkan banyak wilayah, bahkan sampai ke belahan dunia yang demikian jauh. Dzul Qarnain adalah seorang raja yang shalih. Allah menganugerahinya jalan yang menumbuhkan kekuatan kerajaannya dan kemenangan-kemenangan yang belum pernah diberikan kepada siapapun selainnya. Allah menyebutkan sejarah hidupnya yang menarik, kasih sayangnya, kekuatan dan luasnya kerajaan yang dipimpinnya hingga ke belahan bumi timur dan barat
Selama ini banyak orang  salah pahami bahwa Dzul Qarnain  adalah Alexander Agung atau Alexander The Great, seorang penakluk asal Macedonia. Padahal yang dimaksud dalam  Al-Qur’an, Dzul Qarnain  adalah seorang shalih yang hidup di masa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, bukan seorang kafir yang merupakan anak didik filosof Yunani, Aristoteles. Berikut ini kami nukilkan penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari tentang Dzul Qarnain .
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu membawakan kisah Dzul Qarnain  dalam Kitabul Fitan bab Qishshatu Ya`juj wa Ma`juj dalam Shahih-nya, sebelum bab Qaulullah ta’ala Wattakhadza Ibrahima Khalilan. Hal ini merupakan isyarat untuk melemahkan pendapat yang mengatakan bahwa Dzul Qarnain  yang disebut dalam Al-Qur`an adalah Iskandar Al-Yunani (Alexander Agung1). Karena Iskandar2 Al-Yunani hidup pada masa yang berdekatan dengan zaman Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Padahal perbedaan masa antara Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi ‘Isa lebih dari 2.000 tahun. Dan yang nampak, Iskandar yang akhir ini dijuluki Dzul Qarnain  juga untuk menyamakannya dengan Iskandar yang pertama, dari sisi luasnya kerajaan dan kekuasaannya atas banyak negeri. Atau, ketika Iskandar yang kedua ini menaklukkan Persia serta membunuh raja mereka, maka dua kerajaan yang luas –Persia dan Romawi– berada di bawah kekuasaannya, sehingga dia dijuluki dengan Dzul Qarnain  (yang memiliki dua tanduk).
Dan yang benar, Dzul Qarnain  yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan kisahnya dalam Al-Qur`an adalah yang pertama. Perbedaan antara keduanya bisa dilihat dari beberapa sisi:
1.       Hal yang telah saya sebutkan di atas (yaitu perbedaan masa). Yang menunjukkan bahwa Dzul Qarnain  lebih dahulu masanya (daripada Alexander) adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Fakihi dari jalan ‘Ubaid bin ‘Umair –seorang tabi’in kibar (senior)– bahwa Dzul Qarnain  menunaikan haji dengan berjalan kaki. Hal ini kemudian didengar oleh Ibrahim ‘alaihissalam, sehingga beliau menemuinya. Juga yang diriwayatkan dari jalan ‘Atha` dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Dzul Qarnain  masuk ke Masjidil Haram lalu mengucapkan salam kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan menjabat tangan beliau. Dan dikatakan bahwa dialah orang yang pertama kali melakukan jabat tangan. Juga dari jalan ‘Utsman bin Saj bahwasanya Dzul Qarnain  meminta kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk mendoakannya. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam lalu menjawab: “Bagaimana mungkin, sedangkan kalian telah merusak sumurku?” Dzul Qarnain  berkata: “Itu terjadi di luar perintahku.” Maksudnya, sebagian pasukannya melakukannya tanpa sepengetahuannya. Ibnu Hisyam menyebutkan dalam At-Tijan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berhukum kepada Dzul Qarnain  pada suatu perkara, maka dia pun menghukumi perkara itu. Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari jalan Ali bin Ahmad bahwa Dzul Qarnain  datang ke Makkah serta mendapati Ibrahim dan Ismail ‘alaihissalam sedang membangun Ka’bah. Dia kemudian bertanya kepada mereka berdua. (Nabi Ibrahim menjawab): “Kami adalah dua orang hamba yang diperintah.” Dzul Qarnain  bertanya: “Siapa yang menjadi saksi bagi kalian?” Maka berdirilah lima akbasy dan bersaksi. Dzul Qarnain  lalu berkata: “Kalian telah benar.” Dia (Ali bin Ahmad) berkata: “Aku kira, akbasy yang disebutkan itu adalah bebatuan, dan mungkin saja berupa kambing.” Riwayat-riwayat ini saling menguatkan satu sama lain.
2.       Al-Fakhrurrazi dalam tafsirnya berkata: “Dzul Qarnain  adalah seorang nabi, sedangkan Iskandar (yang kedua) adalah seorang kafir. Gurunya adalah Aristoteles, dan Iskandar memerintah (negerinya) dengan perintah Aristoteles, yang tidak diragukan lagi merupakan orang kafir.” Dan akan saya sebutkan pembahasan apakah dia seorang nabi atau bukan.
3.       Dzul Qarnain  adalah orang Arab, sebagaimana akan kami sebutkan nanti. Adapun Iskandar adalah orang Yunani. Bangsa Arab seluruhnya merupakan keturunan Sam bin Nuh, menurut kesepakatan (ulama), meskipun terjadi perbedaan pendapat apakah mereka semua dari keturunan Ismail atau bukan. Adapun bangsa Yunani adalah keturunan Yafits bin Nuh menurut pendapat yang kuat. Sehingga keduanya adalah orang yang berbeda. Syubhat bagi yang mengatakan bahwa Dzul Qarnain  adalah Iskandar, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabari dan Muhammad bin Rabi’ Al-Jaizi dalam kitab Ash-Shahabah Alladzina Nazalu Mishr, dengan sanad yang di dalamnya ada Ibnu Lahi’ah, bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Dzul Qarnain . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dia dari Romawi, lalu dia diberi anugerah kerajaan hingga ke Mesir. Dialah yang membangun kota Iskandariyah (Alexandria). Setelah selesai, seorang malaikat mendatanginya dan mengangkatnya ke langit dan berkata: ‘Lihat apa yang ada di bawahmu.’ Dia menjawab: ‘Aku hanya melihat sebuah kota.’ Malaikat itu berkata: ‘Itu adalah bumi seluruhnya. Hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin memperlihatkan kepadamu. Dan sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kekuasaan untukmu di bumi. Maka lakukanlah perjalanan dan ajarilah orang yang tidak tahu, perkokohlah orang yang berilmu’.” Bila saja riwayat ini shahih, akan hilanglah perselisihan dalam hal ini. Namun riwayat ini lemah, wallahu a’lam.
Dzul Qarnain  Seorang Nabi? Ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang nabi sebagaimana yang telah lalu. Hal ini diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, dan ini merupakan hal yang zhahir dari Al-Qur`an. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku tidak tahu, Dzul Qarnain  itu nabi atau bukan.” Wahb menyebutkan dalam Al-Mubtada` bahwa Dzul Qarnain  adalah seorang hamba yang shalih yang diutus kepada empat umat, dua umat terletak di antara panjang bumi, sedangkan dua umat yang lain terletak di antara lebar bumi. Umat tersebut adalah Nasik dan Munsik serta Ta`wil dan Hawil. Kemudian Wahb menyebutkan kisah yang panjang yang dibawakan Ats-Tsa’labi dalam tafsirnya. Az-Zubair menyebutkan pada permulaan kitab An-Nasab: Ibrahim ibnul Mundzir menceritakan kepada kami, dari Abdul Aziz bin ‘Imran, dari Hisyam bin Sa’d, dari Sa’id bin Abi Hilal, dari Al-Qasim bin Abi Bazzah dari Abu Thufail, dia berkata: Aku mendengar Ibnul Kawwa berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu: “Kabarkan kepadaku, siapakah Dzul Qarnain  itu?” ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Dia adalah seorang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mencintainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutusnya kepada kaumnya, lalu mereka memukul qarn (tanduk) nya sekali pukul yang menyebabkan kematiannya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutusnya kembali kepada mereka, namun mereka kembali memukul qarn (tanduk) nya sekali pukul yang menyebabkan kematiannya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala bangkitkan dia, sehingga dia dinamakan Dzul Qarnain  (yang memiliki dua tanduk).  Namun Abdul ‘Aziz (salah seorang periwayat) dha’if, tetapi periwayatannya dari Abu Thufail ini ada mutaba’ah (pendukung)-nya. Diriwayatkan yang semisal ini oleh Sufyan bin Uyainah dalam Jami’-nya dari Ibnu Abi Husain, dari Abu Thufail, dengan tambahan: “Dia tulus kepada Allah l, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala pun tulus kepadanya.” Di dalamnya juga disebutkan: “Dia bukanlah seorang nabi ataupun malaikat.” Sanad riwayat ini shahih, kami mendengarnya dalam Al-Ahadits Al-Mukhtarah karya Al-Hafizh Adh-Dhiya`. Dalam riwayat di atas terdapat kejanggalan, di mana disebutkan: “Dia bukanlah seorang nabi”, yang berlainan dengan ucapan beliau, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutusnya kepada kaumnya.” Kecuali bila pengutusan yang dimaksud bukanlah sebagai nabi. Dikatakan juga bahwa dia adalah seorang raja, dan ini pendapat kebanyakan ulama. Dan telah berlalu hadits Ali yang mengisyaratkan hal ini. Nama Dzul Qarnain
Para ulama berbeda pendapat tentang namanya. Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, juga diriwayatkan Az-Zubair dalam Kitabun Nasab, dari Ibrahim ibnul Mundzir dari Abdul ‘Aziz bin ‘Imran dari Ibrahim bin Ismail bin Abi Habibah dari Dawud ibnul Hushain dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Dzul Qarnain  adalah Abdullah bin Adh-Dhahhak bin Ma’d bin ‘Adnan.” Namun sanad riwayat ini lemah sekali, karena Abdul ‘Aziz dan gurunya (yakni Ibrahim bin Isma’il) dhaif. Riwayat ini juga berbeda dengan apa yang telah lewat bahwasanya Dzul Qarnain  hidup pada zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, bagaimana mungkin dia menjadi keturunannya? Terlebih lagi bila menurut pendapat yang menyatakan bahwa antara ‘Adnan dan Ibrahim ada 40 generasi atau lebih. Dikatakan juga bahwa namanya adalah Ash-Sha’b, dan ini yang dipastikan oleh Ka’b Al-Ahbar. Pendapat ini juga disebutkan Ibnu Hisyam dalam At-Tijan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Abu Ja’far bin Habib rahimahullahu berkata dalam kitab Al-Muhbar: “Namanya adalah Al-Mundzir bin Abil Qais, salah seorang raja Al-Hairah. Ibunya adalah Ma`u As-Sama`, Mawiyah bintu ‘Auf bin Jusyam. Beliau berkata juga: “Dikatakan juga bahwa namanya adalah Ash-Sha’b bin Qarn bin Hammal, salah seorang raja Himyar.” Ath-Thabari rahimahullahu menyatakan: “Namanya Iskandarus bin Philipus. Ada juga yang mengatakan Philipus. Dan Al-Mas’udi memastikan nama yang kedua.”3  
Al-Hamdani menyebutkan dalam kitab-kitab nasab bahwa namanya Hamyasa’, dan kunyahnya adalah Abu Ash-Sha’b. Dia adalah (Hamyasa’) bin ‘Amr bin ‘Uraib bin Zaid bin Kahlan bin Saba`. Dikatakan juga dia adalah (Hamyasa’) bin Abdullah bin Qarin bin Manshur bin Abdullah ibnul Azd. Adapun pendapat Ibnu Ishaq yang dibawakan Ibnu Hisyam, namanya adalah Marzaban bin Mardiyah atau Marziyah. Ibnu Ishaq menyatakan dengan jelas bahwa Dzul Qarnain  adalah Iskandar. Oleh karena itulah pendapat ini masyhur di antara lisan manusia, karena kemasyhuran kitab As-Sirah karya Ibnu Ishaq. Namun As-Suhaili menyatakan: “Yang nampak dari ilmu periwayatan bahwa keduanya (Dzul Qarnain  dan Iskandar) adalah dua orang yang berbeda. Salah seorang (yakni Dzul Qarnain ) hidup sezaman dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan disebutkan bahwa Ibrahim berhukum kepadanya dalam masalah sumur As-Sab’u di Syam, yang kemudian Dzul Qarnain  menghukuminya sebagai milik Ibrahim. Adapun yang lain (yakni Iskandar) hidup berdekatan dengan zaman Nabi Isa ‘alaihissalam. ” Aku (Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu) berkata:
“Yang lebih benar, bahwa yang disebutkan kisahnya dalam Al-Qur`an adalah yang pertama (yakni Dzul Qarnain ). Dalilnya adalah hadits yang disebutkan (Al-Bukhari rahimahullahu) tentang kisah Khidhir yang disebutkan dalam kisah Nabi Musa ‘alaihissalam, bahwa dia berada pada pendahuluan sebelum munculnya Dzul Qarnain . Sedangkan kisah Khidhir dengan Musa adalah sesuatu yang pasti, dan Musa ‘alaihissalam –dipastikan– hidup sebelum ‘Isa ‘alaihissalam.” (Diterjemahkan dengan beberapa perubahan dari Fathul Bari, 6/428-430, cet. Darul Hadits)
a.       Kami menggunakan kata Agung bukan dengan maksud mengagungkannya, namun karena nama Alexander (Agung) ini telah kental sebagai istilah sejarah. -red.
b.      Nama Dzul Qarnain  sendiri dalam Al-Qur’an dan hadits, tidak disebutkan sebagai Iskandar Dzul Qarnain  (dengan tambahan Iskandar). Sehingga tidak ada dasarnya sama sekali, jika kemudian beranggapan bahwa Dzul Qarnain = Alexander karena sekedar berdalil bahwa Iskandar merupakan Arabisasi dari kata Alexander. (red.)
c.       Tampaknya beliau (Ibnu Ishaq) memang berpendapat bahwa Dzul Qarnain  yang dimaksud adalah Alexander karena beliau salah satu ulama yang meriwayatkan hadits dhaif tentang Alexander sebagaimana telah disebut sebelumnya. Wallahu a’lam.


(Diambil dari Asyrathus Sa’ah hal. 381-382, karya Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil)

1 Lihat Tartib Al-Qamus Al-Muhith (2/55) dan Lisanul ‘Arab (9/67).
2 Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrathus Sa’ah (18/27-28, bersama Syarh An-Nawawi).
3 HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, sebagaimana dikatakan Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id (8/11) dan dia berkata: “Sebagiannya ada dalam Ash-Shahih. Dalam sanadnya ada Hakim bin Nafi’, dia dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma’in namun dianggap lemah oleh selainnya. Adapun perawi lainnya tsiqah.”

ISTRI/WANITA SHOLIHAH

ISTRI/WANITA SHOLIHAH Wanita sholihah merupakan dambaan bagi setiap pria, maka sangatlah penting bagi setiap  pria yang hendak menikah...