A.
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk Tuhan
yang diberi potensi akal dan hati. Manusia pun diberi oleh Allah beberapa
pengetahuan (Ar-Rahman: 3). Dalam sejarah pun dicatat perkembangan pengetahuan
manusia mulai dari filsafat sampai pada ilmu pengetahuan. Pada zaman Yunani
Kuno yang ditandai dengan perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi
logosentris. Manusia tidak lagi berpikir mitos terhadap gejala alam, tetapi
mulai berpikir itu sebagai kausalitas. Sehingga, manusia pada waktu itu tidak
pasif, melainkan proaktif dankreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian
dan pengkajian. Pengetahuan manusia pun berkembang dari masa ke masa. Mulai
dari masa Yunani Kuno (700 SM), masa Islam klasik, masa kejayaan Islam, masa
Renaisans (abad ke 15-16), masa modern (abad 17-19), dan zaman kontemporer
(abad ke 20). Zaman kontemporer ditandai dengan perkembangan ilmu dan teknologi
tinggi, sehingga dikenal pula zaman eraglobalisasi. Dimana informasi dan
transpormasi budaya dapat dilakukan dengan sangat mudah.
Perkembangan ilmu dan
teknologi yang semula untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi kenyataannya
teknologi telah menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi kehidupan
manusia. Sebagai contoh adanya penemuan televisi, komputer, handphone telah
mengakibatkan kita terlena dengan dunia layar. Sehingga, kamunikasi sosial kita
dengan keluarga dan masyarakat sering terabaikan. Begitu pun dengan adanya
bioteknologi yang merancang adanya bayi kloning, mengakibatkan keresahan
berbagai kalangan, seperti agamawan dan ahli etika.
Dalam dunia filsafat pun melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran tentang hal-hal yang metafisik, seperti berfilsafat tentang tuhan. Dimana tuhan dijadikan objek berpikir filsafat, sehingga pada masa pasca khulafaur Rasyidin muncul beberapa aliran teologi. Hal ini menjadi keresahan bagi ulama dan intelektual Islam. Berbagai pandangan pun muncul mengenai filsafat, salah satunya pandangan hujjatul Islam al-Ghazali dengan munculnya kitab tahafutul falasifah (kesalahan para filosof). Bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang berfilsafat maka dia termasuk kaum Zindiq.
Dalam dunia filsafat pun melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran tentang hal-hal yang metafisik, seperti berfilsafat tentang tuhan. Dimana tuhan dijadikan objek berpikir filsafat, sehingga pada masa pasca khulafaur Rasyidin muncul beberapa aliran teologi. Hal ini menjadi keresahan bagi ulama dan intelektual Islam. Berbagai pandangan pun muncul mengenai filsafat, salah satunya pandangan hujjatul Islam al-Ghazali dengan munculnya kitab tahafutul falasifah (kesalahan para filosof). Bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang berfilsafat maka dia termasuk kaum Zindiq.
Kenyataan di atas membuat
paradigma di sebagian masyarakat, bahwa antara filsafat, ilmu, dan agama itu
bertentangan. Benarkah demikian? Padahal dalam agama kita (Islam), terdapat
ajaran-ajaran tentang pentingnya berpikir dan menuntut ilmu. Sehingga dalam
beberapa ayat Allah memuji orang-orang yang mampu berpikir dengan benar (ulil
albab) dan meninggikan derajat orang-orang beriman lagi berilmu (al-Mujadalah:
9).
B. Pengertian dan Objek Kajian Agama
Agama memang tidak mudah
diberi definisi, karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai dengan
pengalaman pribadi masing-masing. Meskipun tidak terdapat definisi yang
universal, namun dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah manusia telah menunjukkan
rasa "suci", dan agama termasuk dalam kategori "hal yang
suci". Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang
tidak terbatas yang diberikan kepada obyek yang disembah. Hubungan manusia
dengan "yang suci" menimbulkan kewajiban, baik untuk melaksanakan
maupun meninggalkan sesuatu.
Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena sikap terhadap agama bersifat batiniah, subjektif, dan individualistis, walaupun nilai-nilai yang dimiliki oleh agama bersifat universal. Kalau kita membicarakan agama, maka kita akan dipengaruhi oleh pandangan agama yang kita anut sendiri (Sadulloh, 2007: 49).
Istilah agama memiliki pengertian yang sama dengan istilah religion dalam bahasa Inggris. Bozman (Anshari, 1979) mengemukakan bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-aturan dari suatu kekuatan yang lebih tinggi, dengan jalan melakukan hubungan yang harmonis dengan realitas yang lebih agung dari dirinya sendiri, yang memerintahkan untuk mengadakan kebaktian, pengabdian, dan pelayanan yang setia.
Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena sikap terhadap agama bersifat batiniah, subjektif, dan individualistis, walaupun nilai-nilai yang dimiliki oleh agama bersifat universal. Kalau kita membicarakan agama, maka kita akan dipengaruhi oleh pandangan agama yang kita anut sendiri (Sadulloh, 2007: 49).
Istilah agama memiliki pengertian yang sama dengan istilah religion dalam bahasa Inggris. Bozman (Anshari, 1979) mengemukakan bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-aturan dari suatu kekuatan yang lebih tinggi, dengan jalan melakukan hubungan yang harmonis dengan realitas yang lebih agung dari dirinya sendiri, yang memerintahkan untuk mengadakan kebaktian, pengabdian, dan pelayanan yang setia.
Religi berasal dari kata
religie (bahasa Belanda) atau religion (bahasa Inggris), masuk dalam
perbendaharaan bahasa Indonesia dibawa oleh orang-orang Barat yang menjajah
bangsa Indonesia. Religi mempunyai pengertian sebagai keyakinan akan adanya
kekuatan gaib yang suci, menentukan jalan hidup dan mempengaruhi kehidupan
manusia yang dihadapi secara hati-hati dan diikuti jalan dan aturan serta
norma-normanya dengan ketat agar tidak sampai menyimpang atau lepas dari
kehendak jalan yang telah ditetapkan oleh kekuatan gaib suci tersebut.
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi.
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi.
Konsep din dalam Al-Qur’an di
antaranya terdapat pada surat Al-Maidah ayat 3 yang mengungkapkan konsep
aturan, hukum atau perundang-undangan hidup yang harus dilaksanakan oleh
manusia. Islam sebagai agama namun tidak semua agama itu Islam. Surat Al-Kafirun
ayat 1-6 mengungkapkan tentang konsep ibadah manusia dan kepada siapa ibadah
itu diperuntukkan. Dalam surat As-Syura ayat 13 mengungkapkan din sebagai
sesuatu yang disyariatkan oleh Allah. Dalam surat As-Syura ayat 21 Din juga
dikatakan sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh yang dianggap Tuhan atau yang
dipertuhankan selain Allah. Karena din dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang
disyariatkan, maka konsep din berkaitan dengan konsep syariat. Konsep syariat
pada dasarnya adalah “jalan” yaitu jalan hidup manusia yang ditetapkan oleh
Allah. Pengertian ini berkembang menjadi aturan atau undang-undang yang
mengatur jalan kehidupan sebagaimana ditetapkan oleh Tuhan. Pada ayat lain,
yakni di surat Ar-Rum ayat 30, konsep agama juga berkaitan dengan konsep
fitrah, yaitu konsep yang berhubungan dengan penciptaan manusia.
Di dalam setiap agama, paling
tidak ditemukan empat ciri khas. Pertama, aspek kredial, yaitu ajaran tentang
doktrin-doktrin ketuhanan yang harus diyakini. Kedua, aspek ritual, yaitu
ajaran tentang tata-cara berhubungan dengan Tuhan, untuk meminta perlindungan
dan pertolongan-Nya atau untuk menunjukkan kesetiaan dan penghambaan. Ketiga,
aspek moral, yaitu ajaran tentang aturan berperilaku dan bertindak yang benar
dan baik bagi inidividu dalam kehidupan. Keempat, aspek sosial, yaitu ajaran
tentang aturan hidup bermasyarakat. 1Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di
muka bumi, sesuai dengan asalnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama,
agama samawi (agama langit), yaitu agama yang dibangun berdasarkan wahyu Allah.
Kedua, agama ardli (agama bumi), yaitu agama yang dibangun berdasarkan kreasi
manusia.
Adapun objek kajian agama
adalah firman Tuhan dalam hal ini wahyu atau yang diyakini sebagai kitab suci
atau pedoman hidup. Mempelajari tentang konsep Tuhan, manusia, dan segala
penomena di alam semesta ini baik fisik atau metafisik.
C.
Pengertian
dan Objek Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ’Alima-ya;lamu, ilman
dengan wazan fa’ila-yaf’ulu, yang berarti : mengerti, memahami benar-benar.
Dalam bahasa inggris disebut science; dari bahasa latin scientia
(pengetahuan)_scire (mengetahui). Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia ilmu
adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu
di bidang (pengetahuan) itu (Bahtiar, 2004: 12).
Kemudian Anshari (1981: 47-49) telah menghimpun beberapa pengertian ilmu
menurut beberapa ahli sebagai berikut:
- Mohammad Hatta
mendifinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan
hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun
menurut kdudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari
dalam.
- Ralp Ross dan
Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum
dan sistematik, dan keempatnya serentak
- Karl Pearson,
mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan
konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah sederhana
- Ashely Montagu,
Guru Besar Antropolo di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah
pengetahuan yang disususn dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan,
studi dan percobaan untuk menetukan hakikat prinsip tentang hal yang
sedang dikaji.
Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas
Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu:
- Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan
- Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia
- Suatu cara
menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu
proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”
- Afanasyef, seorang
pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan
manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan
konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapnnya dan kebenarannya
diuji dengan pengalaman praktis.
Dari keterangan para ahli
tentang ilmu di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian
pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik,
rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif
(bersusun timbun).
Adapun objek ilmu pada
dasarnya ada dua bentuk, yaitu objek material dan objek formal. Objek material
adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tiubuh manusia
adalah objek material ilmu kedokteran. Sedangkan objek formalnya adalah metode
untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan
deduktif (Bahtiar, 2004: 1).
D.
Pengertian dan Objek Filsafat
Apakah filsafat itu? bagaimana definisinya? demikianlah
pertanyaan pertama yang kita hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua
segi, yakni:
a. Segi Semantik
Perkataan filsafat berasal dari
bahasa Arab ‘falsafah’,(nasution, 1779: 9) yang berasal dari bahasa Yunani,
‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ yaitu cinta, suka (loving), dan ’sophia’
yaitu pengetahuan, hikmah/wisdom. Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang
berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut
‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya ‘failasuf’(Hasyimsyah, 1998: 1) Pecinta
pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya,
atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
b. Segi Praktis
Dilihat dari pengertian
praktisnya, filsafat berarti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat
artinya berpikir (Hasyimsyah, 1998: 1). Namun tidak semua berpikir berarti
berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini
benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu
tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf
hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh
dan mendalam. Tegasnya filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari
dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain
filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran
segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal.
Banyak definisi yang
bermunculan karana luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak
mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara
berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat
dan Timur di bawah ini:
- Socrates (469 –
399 SM). Socrates memahami filsafat sebagai suatu peninjauan diri yang
bersifat reflektif atau perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan yang
adil dan bahagia.
- Plato (427 – 347
SM). Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan
yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
- Aristoteles (384 -
322 SM). Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di
dalamnya terkandung ilmu-ilmumetafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
- Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM). Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Dan menyebut filsafat sebagai ibu dari semua pengetahuan .
- Al-Farabi (meninggal 950 M). Filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
- Immanuel Kant (1724 -1804). Yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:” apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)” apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)” sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)
Setelah mempelajari
rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:
- Filsafat adalah
‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat
dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di
luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
- Filsafat adalah
hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami
secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada,
yaitu: ” hakikat Tuhan, ” hakikat alam semesta, dan ” hakikat manusia,
serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut.
Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu
sebenarnya tidak bertentangan, hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda.
Berbicara tentang objek
filsafat, sama halnya dengan ilmu lain yaitu sama-sama mempunyai objek.
Biasanya para ahli membaginya kepada dua bahagian, yaitu objek materi dan objek
formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan di kupas sebagai bahan
(materi) pembicaraan, yaitu gejala “manusia di dunia yang mengembara menuju
akhirat”. Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia,
dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang
alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi-filsafat ketuhanan;
kata “akhirat” dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan
kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah,
saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat
dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan
hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya. Obyek formal adalah cara
pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga
mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara
pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem
filsafat.
Filsafat berangkat dari
pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya
dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam
proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi
basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi
tersurat. Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin
mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek
materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah menyoroti
gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran”
(versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”), “obyektivitas”
(versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan
dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan
menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan
menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.
Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan
teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat
dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
E. Persamaan dan Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan
Agama.
Filsafat, ilmu, dan agama
memiliki sisi persamaan dan perbedaan, yaitu sebagai berikut:
1. Persamaan
1. Persamaan
- Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya.
- Ketiganya
memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara
kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.
- Ketiganya hendak
memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
- Ketiganya
mempunyai metode dan sistem.
- Ketiganya hendak
memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat
manusia (obyektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.
2. Perbedaan
- Obyek material
(lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu
yang ada (realita). Sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu
bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin
bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian
filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
- Obyek formal
(sudut pandangan) filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari
pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan
mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di
samping itu, obyek formal itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara
ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
- Filsafat
dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi,
kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan
trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan
pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya.
- Filsafat memuat
pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman
realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan
secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
- Filsafat
memberikan penjelasan yang terakhar, yang mutlak, dan mendalam sampai
mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak
begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).
- Filsafat dan ilmu
bersumber pada kekuatan akal, sedangkan agama bersumber pada wahyu.
- Filsafat didahului
oleh keraguan, ilmu didahului oleh keingintahuan, sedangkan agama diawali
oleh keyakinan.
F. Sejarah Munculnya
Sekulerisasi Antara Ilmu dan Agama
Pencerahan di barat diawali dengan pergulatan
antara para ilmuan di satu pihak dan gereja di pihak lain. Para ilmuan
beranggapan bahwa ilmu tidak mungkin dapat dikompromikan dengan agama.
Pergulatan ini pada akhirnya dimenangkan oleh para ilmuan. Inilah awal dari
proses sekulerisasi Barat. Ilmu pengetahuan sama sekali terlepas dari
nilai-nilai ketuhanan. Bahkan mereka cenderung mentuhankan pengetahuan itu
sendiri, sehingga ilmu pengetauan dianggap sebagai solusi atas segala
problematika yang dihadapi umat manusia. Lebih parah lagi, ilmu pengetahuan
dianggap lepas dari manusia sehinga eksistensi manusi hanyalah sebagai pion
pengetahuan.
Dari sini muncul gerakan Antiscience. Mereka
menolak mengikuti pengetahuan secara membabi buta yang mengesampingkan
nilai-nilai kemanusiaan. Mereka beranggapan bahwa pemahaman seperti ini hanya
akan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Sebagian mereka bahkan
menyeru agar manusia menjauhkan diri dari sikap materialistis dan kembali
kepada fitrah manusia.
Sayangnya pemahaman mengenai sekulerisasi ilmu
pengetahuan, bahwa pengetahuan sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama
merembet ke dunia Islam. Muncul kesan bahwa untuk dapat mengejar ketertinggalan
harus meniru metodologi barat meskipun itu bertentangan dengan nilai dan norma
Islam. Maka mengembalikan metodologi keilmuan sebagaimana yang digariskan oleh
Islam menjadi suatu keharusan.
G. Relevansi Filsafat, Ilmu dan Agama
Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh
filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan
kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal",
sedangkan kebenaran menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita
tidak akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar di antara
ketiganya, akan tetapi kita akan melihat apakah ketiganya dapat hidup
berdampingan secara damai. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan
akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal
ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun
di dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing
mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan
agama akan diperlihatkan sebagai berikut:
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat
sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah
mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang
tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian
mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan
tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan
tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana
tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci
mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh
manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan
tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau
kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya
atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu
dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari
hubungan sosialnya atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang
telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta
diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus
mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan
berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi
susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan
tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi.
Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan
istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat
ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya.Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya.Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri
atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya
jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri
atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri
dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai
manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:
*Aristoteles:
a. Manusia adalah animal rationale
a. Manusia adalah animal rationale
Karena itu, menurutnya, ada tahap perkembangan:
Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia
Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan
memiliki jiwa hidup
Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa perasaan
Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional
Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa perasaan
Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional
b.
Manusia
adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.
*Ernest
Cassirer:
manusia
adalah animal simbolikum
Manusia
ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan,
bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada
binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.
Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai
bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah
pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya
menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan
akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai
manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas
tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap
rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang
bagaimana nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang
dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya,
tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia.
Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak
menambahkan suatu kepercayaan baru.
Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat
mempunyai hubungan yang baik dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu
menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama
dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu
dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode
pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi
masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro
fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen
atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung.
Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis
sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip
moralitasnya sendiri.
Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban
terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat.
Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama
adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup
yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa
bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya,
untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih
berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama
sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.
Selanjutnya filsafat memiliki peran dalam agama.
Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah
masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu
dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap
makna dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah
sebabnya kita begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu
juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada
kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun
sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan
kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita
tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang
itulah maksud Allah.
Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara
untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias.
Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat,
untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat
dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus
diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat
dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian
pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat
adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat
membantu agama dalam memastikan arti wahyunya.
Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah
memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan,
membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu
teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para
filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi). Teologi dengan
sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham
serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya,
masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya
dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku
dalam masalah "theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah yang
sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa
berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi
(teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat
Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus
dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu.
Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam
menghadapi masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu
diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu
terutama relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi tabung atau
pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan
itu : Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada
agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah
dibahas? Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan
prinsip-prinsip etika yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah
baru itu. Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral.
Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang
menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan
ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme.
Keempat, yang dapat diberikan oleh filsafat kepada
agama diberikan melalui fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah
kritik ideologi. Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama
masyarakat pasca tradisional, berada di bawah semburan segala macam pandangan,
kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan itu
memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia harus
hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi itu
secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka
kedok kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua
arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang-
an yang mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak
sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan
mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-ideologi
saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain,
melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang
luar. Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan,
apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu
Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk
membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang
sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah
interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan
dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya,
melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada apa yang
sebenarnya diwahyukan oleh Allah.
Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan
masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin
hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa
seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal
yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang
dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama.
Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul
dalam kehidupan.
H. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa meskipun antara filsafat, ilmu, dan agama memiliki perbedaan,
tetapi ada titik persamaanya yaitu ketiganya mencari sebuah kebenaran dan
memberikan sebuah jawaban bagi permasalahan-permasalahan kehidupan. Sehingga
antara filsafat, ilmu dan agama memiliki relevansi sebagai berikut:
- Filsafat, ilmu, dan agama sama-sama mencari kebenaran. Sebagai contoh pengetahuan tentang manusia.
- Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Contoh tentang bayi tabung.
- Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat.
Dengan demikian antara
filsafat, ilmu dan agama tidak ada pertentangan jika didudukkan dalam proporsi
dan bidangnya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Bahtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Ibrahim Madkur, Dr., Filsafat Islam Metoda dan Penerapan, Terjemahan
Wahyudi dkk., Jakarta, 1988
Iqbal, Dr., Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Terjemahan O Balibi, Jakarta, 1983
Oemar Amin Husin, Filsafat Islam, Jakarta, 1961
Rasyidi, H.M., Filsafat Agama, Jakarta, 1970
Soemadi Soerjabrata, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, 1970
Tsabit Al-Fandi, Muhammad, Dr., Min Falsafati Al-Din Huda Al-Ghazali, Fi Abu Hamid, Al-Ghazali, Kairo, 1961
Iqbal, Dr., Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Terjemahan O Balibi, Jakarta, 1983
Oemar Amin Husin, Filsafat Islam, Jakarta, 1961
Rasyidi, H.M., Filsafat Agama, Jakarta, 1970
Soemadi Soerjabrata, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, 1970
Tsabit Al-Fandi, Muhammad, Dr., Min Falsafati Al-Din Huda Al-Ghazali, Fi Abu Hamid, Al-Ghazali, Kairo, 1961
Nasution, Harun.
Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Nasution,
Hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Quraisy, 2004.
Sumarna, Cecep.
Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai, Bandung. Pustaka Bani
No comments:
Post a Comment