“Dari Umar bin Khathab r.a. ia berkata: “Saya
mendengar Rasulallah SAW bersabda: “Sesungguhnya semua amal perbuatan itu
tergantung pada niatnya. Dan tiap-tiap orang itu akan memperoleh apa yang
diniatkan, barang siapa yang hijrahnya untuk memperoleh duniawi atau mencari
wanita yang akan dikawinnya, maka hijrahnya akan menghasilkan sesuai dengan
niatnya.” Bukhari dan
Muslim
Dalam riwayat lain ada tambahan:
“Barangsiapa
yang hijrahnya karena Allah dan Rasulnya, maka dia akan mendapat pahala dari
Allah dan syafa’at dari Rasul-Nya.”
Keterangan:
Islam cukup besar menaruh perhatian
terhadap niat atau perasaan yang menyertai amal perbuatan manusia.
Karena nilai amal ibadat manusia, hakikatnya kembali kepada si
pemiliknya, dan tergantung kepada niatnya.
Bershadaqah atau mengeluarkan derma,
atau memberikan sesuatu kepada orang lain merupakan perbuatan dan amal yang
baik, tetapi kadang-kadang ada seseorang yang bershadaqah agar dikatakan dia
orang baik, atau untuk mendapatkan kedudukan di sisi pejabat, di sisi orang
pembesar, atau agar bisa mendapatkan pelayanan dari orang yang diberi shadaqah.
Ada juga yang bershadaqah untuk
menghapuskan sifat minta-minta atau menjaga sifat satria dan rasa malu dari
orang yang tidak mampu atau semata-mata karena taat kepada Allah, untuk mencapai
keridhaan Allah dan mengharapkan pahala dari-Nya.
Dua orang tersebut di atas
mengerjakan suatu macam perbuatan, yaitu bershadaqah, tetapi nilainya berbeda,
sesuai dengan perbedaan niat yang mendorongnya.
Orang yang pertama, nilai
shadaqahnya rendah karena menginginkan kemanfaatan duniawi yang pribadi. Jika
tidak karena keinginan itu, tentu dia tidak bershadaqah. Maka pendorong yang
hakiki, yang ikhlas belum bersemayam di dadanya.
Orang yang kedua nilai shadaqahnya
tinggi, karena shadaqahnya karena ikhlas, karena didorong memenuhi hati
sanubarinya, yaitu dia memang senang berbuat baik kepada sesama manusia,
menjaga kemuliaan mereka dan karena taat kepada Allah serta mencari
keridhaan-Nya. Orang semacam ini dapat diharapkan kebaikan yang banyak dan
dapat diharapkan pula daripadanya kebaikan-kebaikan yang terus menerus. Dia
sumber tetap bagi mereka berhajat. Inilah orang yang digambarkan oleh firman
Allah dalam Al Quran:
“Dan
perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan
Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di
dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan
buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyirami, maka hujan gerimis
(pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” Al Baqarah(2):265
Adapun orang yang pertama, yakni
yang shadaqahnya karena keinginan duniawi maka digambarkan dalam firman Allah:
“Maka
perumpamaannya seperti sebuah batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).” Al Baqarah(2):264
Orang yang kedua, amal ibadahnya
berbuah dan orang yang pertama tidak berbuah.
Orang yang shalat ingin agar
shalatnya dilihat dan dipuji orang, yakni agar supaya orang-orang menilai bahwa
dia orang baik, atau supaya mereka menyerahkan suatu tugas yang menyangkut
urusan duniawi serta dia dapat mengambil kemanfaatan duniawi, maka shalatnya
sah, tetapi pahalanya tidak sama dengan orang melaksanakan shalat karena Allah
semata-mata.
Dengan
demikian kita mengetahui makna yang terkandung dalam hadits tersebut di
atas: “Bahwa semua amal perbuatan itu tergantung sesuai dengan
niatnya”. Maka nilai setiap amal perbuatan itu sesuai dengan nilai
niat yang membangkitkannya. Apabila niatnya baik, maka baiklah; apabila niatnya
jelek, maka jeleklah; apabila niatnya hina, maka hinalah dan tidak akan
terbalik. Inilah art dari ikhtisar hadits tersebut.
Perkataan
bahwa: “sesungguhnya amal-amal itu harus dengan niat”, maksudnya
bahwa seluruh amal ibadah tidak diakui oleh syara’, melainkan yang disertai
dengan niat yang benar-benar untuk beribadah, yakni karena Allah semata-mata.
Jika kita telah mengetahui, bahwa
semua amal perbuatan itu sebanding dan sesuai dengan nilai niatnya dan bagi
setiap amal perbuatan itu ada balasan bahagia di dunia dan kenikmatan di
akhirat atau sebaliknya, maka Rasulallah SAW telah menjelaskan di dalam jumlah
kedua dari hadits tersebut yang berbunyi:
“Barangsiapa yang niatnya untuk
memperoleh pahala dan keridhaan Allah, maka baginya pahala dan keridhaan-Nya,
dan barangsiapa yang niatnya jahat, maka baginya kecelakaan; barangsiapa yang
niatnya semata-mata untuk kemuliaan duniawi, maka dia tidak akan mendapat
pahala.”
Dan bentuk yang sederhana di dalam
hadits ini memberi pengertian, bahwa sesungguhnya amal tanpa niat, maka
seseorang tidak akan mendapat sesuatu atau tidak berakibat sesuatu.
Hadits ini mengajak kita mengerjakan
berbagai urusan yang luhur lagi tinggi nilainya, menyuruh kita ikhlas di dalam
perbuatan taat dan memerintahkan kita berbakti kepada agama. Dan menjelaskan
pula bahwa sesungguhnya semua amal perbuatan itu tidak cukup dilihat dari segi
lahirnya saja, bahkan yang mendorong melakukannya itulah yang mempunyai
pengaruh besar di dalam penilaian rendah dan tingginya dan disiksa atau diberi
pahala.
Tambahan
redaksi:
Tentu saja hadits ini dikhususkan
untuk amal perbuatan yang dibenarkan oleh syara’ (ketentuan Islam). Jadi bila
sebuah amal secara lahiriah bertentangan dengan syara’ seperti mencuri,
korupsi, menipu; maka ia akan ditolak oleh Allah, terlepas dari niat nya apakah
untuk kebaikan atau bukan. Bila sebuah amal sejalan dengan syara’, maka
diterima/ditolaknya amalan tersebut tergantung dengan niatnya, bila niat karena
Allah semata-mata maka insya Allah akan diterima, bila niatnya selain dari
karena Allah maka ia akan ditolak.
Jadi di dalam islam tidak dibenarkan
korupsi untuk membangun masjid, mencuri harta orang kaya untuk dibagikan kepada
orang miskin, menipu untuk dapat naik haji. Hal ini diperintah oleh Allah dalam
firman-Nya:
“Dan
janganlah kamu campur adukkan yang hak (benar) dengan yang bathil (salah) dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak (benar) itu, sedang kamu mengetahui.” Al Baqarah(2):42
Obat adalah
kebaikan, namun bila obat tersebut dicampur dengan setetes dengan hal yang
haram, maka para ulama berpendapat bahwa hal ini termasuk melanggar firman
Allah di atas. Wallaahu A’lam.
Share
No comments:
Post a Comment