Kisah Nabi Nuh AS dan Epos Gilgamesy
Telah banyak dibahas bahwa ilmu pengetahuan yang dipelajari di
sekolah-sekolah umum dibangun di atas landasan filsafat positivisme. Artinya
ilmu pengetahuan itu tidaklah polos melainkan sudah dijerumuskan berpihak
kepada yang atheis, tidak percaya akan Tuhan, yang agnostik, acuh tak acuh
tentang Tuhan, dan yang deist, tidak percaya akan wahyu walaupun percaya akan
adanya Tuhan. Ilmu pengetahuan yang demikian itu hanya mempunyai dua sumber
yaitu alam dan sejarah.
Para ilmuwan yang atheist, agnotik dan deist dalam menganalisa pergelutan
pandangan, benak dan alam pikiran manusia, tentu saja hanya memakai pendekatan
historis. Sayangnya para ilmuwan yang beragama Islam turut pula terperangkap ke
dalam jaring filsafat positivisme, sebab kalau tidak demikian hasil analisa
mereka itu akan dicap tidak ilmiyah: melanggar rambu-rambu dan tatacara
keilmuan. Demikianlah para ilmuwan dari ketiga golongan itu yang tergabung
dalam filsafat positivisme bersama-sama dengan para ilmuwan yang beragama Islam
yang ikut terseret secara sadar ataupun tidak sadar menempatkan semua agama
sebagai komponen atau bagian dari kebudayaan. Maka mereka itu dalam mencari
hubungan antara agama dengan agama, antara agama dengan dongeng-dongeng hasil
imajinasi dan sastra bangsa-bangsa dahulu kala, akan memakai pendekatan
historis itulah.
Ilmu pengetahuan harus dibina atas landasan Tauhid. Dengan demikian sumber
ilmu pengetahuan itu adalah wahyu, alam dan sejarah. Wahyu berwujud Ayat Qauliyah,
alam dan sejarah disebut Ayat Kauniyah. Para ilmuwan orang-orang Islam akan
terpelihara aqidahnya dalam berilmu. Mereka akan memilah-milah agama, mana
agama yang bersumber dari wahyu yang disebut agama wahyu, mana agama yang
akarnya dari kebudayaan yang disebut dengan agama kebudayaan, mana agama wahyu
yang mendapatkan pengaruh dari kebudayaan, dan mana agama kebudayaan yang
mendapat pengaruh dari agama wahyu. Pendekatan yang dipakai dalam berilmu
adalah kombinasi antara pendekatan non-historis yaitu bersumber dari Ayat Qauliyah
dengan pendekatan historis yang bersumber dari Ayat Kauniyah.
***
Epos Gilgamesy adalah sebuah epos yang didapatkan dalam perpustakaan di
Niniveh, milik seorang raja Assyria yang bernama Assurbanipal (669 - 626
seb.M.). Epos itu bertuliskan tulisan paku di atas tanah liat dalam bahasa
Akkadia. Di dalam Epos Gilgamesy itu diceritakan pengalaman Utnapisytim yang
mirip dengan pengalaman Nabi Nuh AS, seperti yang dikisahkan dalam Tawrah
(Pentateuch, The Books of Moses) dan Al Quran. Yaitu tentang bagaimana
Utnapisytim diberitahu oleh dewa-dewa tentang akan datangnya banjir. Tentang
bagaimana dewa-dewa menyuruh Utnapisytim membuat perahu untuk menyelamatkan
keluarga dan binatang ternaknya. Tentang burung merpati yang dilepaskan dan
tentang mendaratnya perahu Utnapisytim di sebuah gunung ketika air bah telah
surut.
Dengan metode pendekatan historis para ilmuwan yang atheist, agnostik, dan deist
akan menjelaskan dengan sederhana tentang kontak budaya bangsa Assyria, Sumaria
yang berkebudayaan tulisan paku dengan bangsa Mesir Kuno yang berkebudayaan
tulisan ideogram yang disebut hieroglyph. Kontak budaya itu terjadi terutama
oleh karena Mesir Kuno takluk atau menjadi bagian dari Kerajaan Assyria. Bahkan
walaupun Mesir Kuno memakai tulisan hieroglyph, juga mempergunakan tulisan
paku. Bahwa kebudayaan Mesir Kuno juga mempergunakan tulisan paku ini dapat
dilihat dari penggalian arkheologis di situs Tell-el-Amarna pada tahun 1894 .
Di situ didapatkan alwah (keping-keping atau tablet) tanah liat bertuliskan
tulisan paku yang dikenal dalam sejarah sebagai Alwah Tell-el-Amarna, atau
Dokumen Amarna. Sesungguhnya penemu awal dari alwah bertulisan paku itu
bukanlah seorang ilmuwan arkeologi, bukan pula oleh ilmuwan sejarah, melainkan
seorang perempuan petani Mesir. Di situs itu didapatkan sekitar 300 alwah
Dokumen Amarna, yaitu sejumlah arsip surat-menyurat diplomatik antara Fir'aun
dengan kerajaan-kerajaan Asyiria, Babylonia, Anatolia, Palestina dan Syria.
Patut dicatat, yang tak kurang menariknya pula seperti Epos Gilgamesy, ialah di
antara Dokumen Amarna itu terdapat Nyanyi Pujian Fir'aun Akhenaton yang
mirip-mirip dengan Mazmur 104:24-27 dari Nabi Daud AS. Insya Allah hal ini akan
dibahas dalam kesempatan yang lain.
Dari kontak budaya tersebut para ilmuwan yang atheist, yang agnostik dan
yang deist berkesimpulan bahwa penulis Pentateuch yang hidup lebih kemudian
dari Epos Gilgamesy, mendengar epos tersebut dari cerita-cerita rakyat lalu
dituliskannya dan menjadi bagian dari Pentateuch. Demikian pula penulis Al
Quran mendengar cerita air bah itu dari para pendeta Yahudi, lalu dimasukkannya
pula dalam Al Quran, demikian menurut kesimpulan para atheist, agnostik dan
deist itu.
***
Akan tetapi jika ilmu pengetahuan itu sudah di-Islamkan, artinya Ilmu
Pengetahuan itu berlandaskan Tauhid, maka dalam hal Qissah Nabi Nuh AS dan Epos
Gilgamesy ini cara pendekatannya ada dua.
Pertama, metode pendekatan kombinasi non-historis dan historis dipergunakan
dalam menganalisis proses penulisan Epos Gilgamesy bertulisan paku di atas
tanah liat itu. Cerita air bah diteruskan dari mulut ke mulut mulai dari
keluarga Nabi Nuh AS yang ikut berlayar bersama Nabi Nuh AS di atas perahu.
Demikianlah secara turun-temurun dari ayah ke anak, ke cucu, ke cicit dan
seterusnya hingga pada zaman Kerajaan Assyria. Orang Akkadia yang
dilatarbelakangi oleh agama polytheist, penyembah dewa-dewa menuliskan cerita
yang turun-temurun itu di atas tanah liat dengan tulisan paku. Karena
dilatarbelakangi dengan budaya menyembah dewa-dewa itulah, maka Allah Yang
memberitahu akan datangnya banjir berubah menjadi dewa-dewa yang memberitahu
akan datangnya banjir.
Kedua, pendekatan non-historis dipakai mengenai adanya cerita air bah itu
dalam Taurah dan Al Quran. Nabi Musa AS mengetahui cerita air bah itu bukan
dari cerita turun-temurun melainkan langsung mendapatkan informasi dari Sumber
Informasi, yaitu Allah SWT dengan perantaraan wahyu. Demikian pula Nabi Muhammad
SAW mengetahui peristiwa air bah itu bukan dari pendeta Yahudi melainkan dari
Sumber Yang Satu, yaitu Allah SWT melalui wahyu. Nahnu Naqushshu 'alayka Ahsana
lQashashi bima- Auhayna- ilayka Ha-dza lQura-na wa in Kunta min qablihi lamina
lGha-filiyna (S.Yusuf,3). Kuceritakan kepadamu (hai Muhammad) qissah-qissah
yang terbaik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya
sebelumnya (engkau mendapatkan wahyu itu) engkau belum mengetahuinya
(12:3).
Demikianlah dari penyajian di atas itu makin jelaslah bahwa ilmu
pengetahuan itu tidak mungkin otonom, tidak mungkin polos, tidak mungkin tidak
memihak, tidak mungkin tanpa nilai. Sebab yang dimaksud selama ini dengan
otonom, tanpa nilai, adalah pemihakan kepada para atheist, agnostik dan deist yang
bergabung dalam filsafat positivisme. Artinya pernyataan yang membiuskan para ilmuwan
yang beragama Islam tentang polosnya ilmu pengetahuan itu adalah pernyataan
yang palsu.
Coba bayangkan, betapa parah akibatnya jika seorang ilmuwan Muslim yang
taat asas pada pernyataan otonomi ilmu pengetahuan itu lalu hanya mengadakan
pendekatan historis saja terhadap Epos Gilgamesy, memasukkan agama ke dalam
disiplin ilmu-ilmu kebudayaan, berarti ia mengingkari wahyu, yang berarti pula
menolak AlQuran itu sebagai kumpulan wahyu yang akhirnya berarti mengingkari
kenabian RasuluLlah SAW, maka murtadlah ia demi taat asas kepada ilmu
pengetahuan yang berlandaskan filsafat positivisme itu. Na'uwdzu bi lla-hi min
dzalik. Wallahu a'lamu bishshawab.
No comments:
Post a Comment