Friday 15 December 2017

Ciri-ciri ‘Ibaadur Rahmaan

Ciri-ciri ‘Ibaadur Rahmaan
Melalui mimbar yang mulia ini, kita sbaiknya bersyukur kepada Allah Swt yang telah menciptakan kita sebagai hamba-Nya yang beriman. Allah Swt. menciptakan manusia sangat beragam; ada yang beriman dan ada yang tak; ada yang disayangi-Nya dan ada yang tidak, bahkan ada yang Tuhan tidak sudi melihatnya di hari kiamat nanti. Dalam kesempatan ini kita ingin mengetahui petunjuk Allah Swt tentang ciri-ciri hamba-Nya yang benar-benar beriman dan diberi gelar ‘ibaadurrahmaan, hamba Allah Yang Maha Pengasih Penyayang karena ketaatan dan ketinggian akhlaknya, yang patut menjadi contoh teladan bagi manusia sebagai hamba Allah. Ciri-ciri ‘ibaadurrahmaan ini dijelaskan oleh Allah Swt. di dalam Al-Qur’an surah Al-Furqan ayat 63 sampai akhir surah. Ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan menjadi sembilan sifat yang bila dipunyai oleh seorang Muslim pastilah dia mendapat ridha Allah di dunia dan akhirat dan akan ditempatkan-Nya di tempat yang tinggi dan mulia di dalam surga Jannatunna’iim.
Pertama, apabila mereka berjalan di muka bumi, terlihat dari sikapnya itu sifat kesederhanaan, jauh dari sifat sombong, langkahnya tetap teratur tidak dibuat-buat karena ingin menarik perhatian orang.
Kedua, apabila ada orang yang mengucapkan kata-kata yang tidak pantas atau tidak senonoh kepada mereka, dan mereka tidak membalasa kata-kata itu, melainkan menjawabnya dengan ucapan yang baik yang mengandung nasehat dan harapan semoga dia mendapat hidayah dari Allah. Demikianlah sikap Rasulullah Saw bila diserang dan dihina dengan kata-kata yang kasar, beliau tetap berlapang dada dan menyantuninya. Perhatikan firman Allah dalam Surah Al-Furqan ayat 63:
Wa ‘ibaadurrahmaani lladziina yamsyuuna ‘alal ardhi haunan wa idzaa khaathabahumul jaahiluuna qaaluu salaaman.
Ketigaapabila malam telah sunyi sepi, manusia telah dibuaikan tidur nyenyak, mereka mengerjakan shalat tahajjud. Mereka tinggalkan kesenangan dan kenyamanan tidur, mereka resapkan dengan sepenuh jiwa dan raga, bagaimana nikmat dan tenteramnya di kala bermunajat dengan Tuhan. Mereka lakukan shalat seperti yang dilakukan Rasulullah Saw., karena dengan shalat malam ini jiwa mereka menjadi suci dan bersih, iman mereka bertambah kepada Tuhan. Dan saat itulah mereka memohon dan berdoa dengan penuh khusyu’ dan tawadhu’ untuk diampuni dosanya dan dilimpahi rahmat dan keridhaan-Nya. Perhatikan ayat 64 selanjutnya:
Wa lladziina yabiituuna li rabbihim sujjadan wa qiyaaman.
Dan dalam surah As-Sajdah ayat 16 Allah Swt berfirman:
Tatajaafaa junuubuhm ‘anil madhaaji’ yad’uuna rabbahum khawfan wa thma’an wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun.
Keempat, mereka selalu mengingat hari akhirat, hari perhitungan, di mana semua manusia akan mempertanggunjwabkan perbutannya. Yang baik diberi ganjaran berlipat ganda dan yang jahat diberi balasan yang setimpal. Di saat munajat itu tergambarlah dalam pikiran mereka, bagaimana ganasnya api neraka yang selalu menanti para hamba Allah yang durhaka. Di kala itu meneteslah air mata mereka dan mereka memohon dengan sungguh-sungguh agar dibebaskan dari siksaan api neraka yang ganas itu. Hal itu dikemukakan Allah dalam Surah Al-Furqan ayat 65-66:
Wa lladziina yaquuluuna rabbanshrif ‘annaa ‘adzaaba jahannama inna ‘adzaabahaa kaana gharaaman. Innahaa saa`ats mustaqarran wa muqaaman.
Kelima, apabila menafkahkan harta, mereka tidak terlalu boros dan tidak pula terlalu kikir, tetapi tetap memelihara keseimbangan antara kedua sifat yang buruk itu. Sifat boros akan membawa kepada kemusnahan harta dan kerusakan masyarakat, karena seorang yang boros akan menghambur-haburkan kekayaannya dengan jalan yang merusak seperti judi, main perempuan dan minuman keras. Demikian juga sifat kikir segan mengeluarkan harta untuk dirinya, apalagi untuk masyarakat. Di sini ayat 67 Surah Al-Furqan Allah berfirman:
Wa lladziina idzaa anfaquu lam ysurifuu wa lam yaqturuu wa kaana bayna dzaalika qawaaman.
Keenam, mereka tidak menyembah selain Allah, tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Mereka benar-benar menganut tauhid yang murni. Bila beribadah, maka ibadahnya itu semata-mata karena Allah. Bila berbuat kebajikan, maka perbuatannya karena Allah, maka benar-benar langsung kehadirat Allah Swt. Lihat kembali surah Al-Furqan ayat 68-69:
Wa lladziina laa yad’uuna ma’a llaahi ilaahan aakhara wa laa yaqtuluuna nnafsa llatii harrama llaahu illaa bil haqqi wa laa yaznuuna wa man yaf’al dzaalika yalqa atsaaman. Yudhaa’af lahuul ‘adzaabu yawmal qiyaamati wa yakhlud fiihi muhaanan.
Ketujuh, mereka tidak mau dan tidak pernah melakukan sumpah palsu dan apabila mereka lewat di hadapan orang-orang yang suka omong kosong dan ucapan yang tak berguna, mereka pasti tidak mau bergabung. Hal ini juga ditegasskan oleh Allah dalam surah Al-Furqan ayat 72:
Wa lladziina laa yasyhaduuna zzuura wa idzaa marru bil laghwi marruu kiraaman.
Kedelapan, mereka dapat menanggapi peringatan yang diberikan Allah bila mereka mendengar peringatan itu. Hati mereka selalu terbuka untuk menerima nasihat dan pelajaran, pikiran mereka pun selalu merenungkan ayat-ayat Allah untuk dipahami dan diamalkan, sehingga bertambah keimanan dan keyakinan mereka, bahwa ajaran Allah benar-benar tinggi nilai dan mutunya, ajaran yang benar dan tak dapat ditambah. Di sini juga Allah berfirman dalam ayat 73:
Wa lladziina idzaa dzukkiruu bi aayaati rabbihim lam yakhirruu ‘alayhaa shumman wa ‘umyaanan.
Kesembilan, mereka selalu munajat dan memohon kepada Tuhan agar diberi anugerah keturunan yang baik-baik sehingga isteri dan anak-anak itu benar-benar menyenangkan hati dan perasaannya karena keluarganya sendiri terdiri dari orang-orang yang saleh dan bertakwa kepada Tuhan. Dengan demikian, akan bertambah banyaklah di muka bumi ini hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Di samping itu, mereka juga mengharapkan agar anak cucunya menjadi pemimpin yang dapat mengajak orang untuk bertakwa di muka bumi ini. Bukan pemimpin sekedar untuk mencari kedudukan dan pangkat. Dalam firman Allah surah Al-Furqan ayat 74:
Wa lladziina yaquuluuna rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrata a’yunin waj’alnaa lil muttaqiina imaaman.
Itulah ciri-ciri atau sifat-sifat hamba-hamba Allah yang patut diberi predikat ibaadurrahmaan, hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih Penyayang. Orang-orang yang telah mencapai predikat ibaadurrahmaan ini akan diridhai oleh Allah dan ditempatkan di akhirat nanti pada tempat yang paling mulia di sisi-Nya, surga dengan segala kenikmatannya, dihormati dan dimuliakan oleh para malaikat dan diberi karunia dan rahmat Allah yang tiada putus-putusnya. Semoga uraian ini bermanfaat bagi kita sekalian, terutama untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita, Amin.
Share



Tuesday 12 December 2017

12 Falsafah Hidup – Pitutur Jawa

12 Falsafah Hidup – Pitutur Jawa
Berbagai suku di Indonesia punya falsafahnya masing-masing. Dalam dunia komunikasi, para pakar menyarankan agar semua orang yang hendak berkomunikasi dalam promosi atau persuasi apa pun, hendaknya menggunakan ‘kebijakan lokal’, alias local wisdom.
Masyarakat Jawa juga sejak lama dikenal memiliki falsafah yang layak untuk menjadi pelajaran bagi kita. Filosofi leluhur Jawa, misalnya dalam bentuk pitutur, itu diturunkan dari generasi ke generasi. Barangkali di era Google sekarang, ketika masyarakat sibuk menengok ke Barat, penting kiranya bagi kita untuk memahami warisan budaya atau pemikiran salah satu komponen bangsa sendiri.
Berikut ini 12 Falsafah yang saya dapatkan dari sana-sini.
1.    Urip iku Urup: Hidup itu nyala, hendaknya kita memilih hidup yang memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Kian besar manfaat yang kita berikan kian baiklah pribadi orang itu. Sangatlah mungkin, filosofi ini merujuk kepada hadis Nabi Muhammad saw yang mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” 
2.    Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara: Hendaknya setiap manusia mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; sekaligus memerangi (memberantas) semua sifat angkara murka, serakah dan tama (rakus);
3.    Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti: Segala sifat keras hati, picik, angkara murka hanya bisa dilebur (dikalahkan) oleh sikap bijak, lembut hati dan sabar;
4.    Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha: Berjuang tanpa perlu membawa massa, Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan (pihak yang dikalahkan), berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan/ kekuatan/ kekayaan/ keturunan, kaya tanpa didasari hal-hal yang bersifat kebendaan/materi;
Panakawan: Dalam pewayangan, kehadiran Panakawan yaitu pada saat 'goro-goro', ketika orang membuka tabir kesalahan: akibatnya yang salah terlihat kesalahannya dan yang benar terlihat kebenarannya.
Panakawan: Dalam pewayangan, kehadiran Panakawan yaitu pada saat ‘goro-goro’, ketika orang membuka tabir kesalahan: akibatnya yang salah terlihat kesalahannya dan yang benar terlihat kebenarannya.
5.    Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo: Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, indah, dan jangan plin-plan atau berpikir menduka (terombang-ambing) agar niat dan semangat kita tidak menjadi layu atau kendor; 
6.    Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan: Jangan terlalu mudah sakit hati ketika ditimpa musibah, jangan susah manakala kehilangan sesuatu;
7.    Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman lan Aja Geleman: Jangan mudah terheran-heran, atau terlalu kagum, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut dengan sesuatu, jangan mudah manja atau ngambek, dan jangan mau (mengambil) yang bukan hak kita; 
8.    Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman: Janganlah terobsesi oleh keinginan merebut kedudukan, kebendaan / materi dan kepuasan duniawi melulu;
9.    Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka: Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, jangan curang ayau culas agar tidak celaka; 
10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna: Janganlah sok hebat, sok kuasa, sok besar, sok kaya, atau pun sok sakti dan pintar;
11. Sapa Weruh ing Panuju sasad Sugih Pager Wesi: Sesiapa yang bercita-cita luhur atau mulia, akan tertuntun jalan hidupnya;
  1. Alang-alang dudu Aling-aling, Margining Kautaman: Persoalan persoalan (kendala) dalam kehidupan bukan penghambat , (ia justru menjadi) jalan bagi kesempurnaan.

Semoga bermanfaat.

Kedudukan Niat Dan Pengaruhnya Dalam Amal Ibadat

Kedudukan Niat Dan Pengaruhnya Dalam Amal Ibadat

 “Dari Umar bin Khathab r.a. ia berkata: “Saya mendengar Rasulallah SAW bersabda: “Sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan tiap-tiap orang itu akan memperoleh apa yang diniatkan, barang siapa yang hijrahnya untuk memperoleh duniawi atau mencari wanita yang akan dikawinnya, maka hijrahnya akan menghasilkan sesuai dengan niatnya.” Bukhari dan Muslim
Dalam riwayat lain ada tambahan:
“Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasulnya, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan syafa’at dari Rasul-Nya.”
Keterangan:
Islam cukup besar menaruh perhatian terhadap niat atau perasaan yang menyertai amal  perbuatan manusia. Karena  nilai amal ibadat manusia, hakikatnya kembali kepada si pemiliknya, dan tergantung kepada niatnya.
Bershadaqah atau mengeluarkan derma, atau memberikan sesuatu kepada orang lain merupakan perbuatan dan amal yang baik, tetapi kadang-kadang ada seseorang yang bershadaqah agar dikatakan dia orang baik, atau untuk mendapatkan kedudukan di sisi pejabat, di sisi orang pembesar, atau agar bisa mendapatkan pelayanan dari orang yang diberi shadaqah.
Ada juga yang bershadaqah untuk menghapuskan sifat minta-minta atau menjaga sifat satria dan rasa malu dari orang yang tidak mampu atau semata-mata karena taat kepada Allah, untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharapkan pahala dari-Nya.
Dua orang tersebut di atas mengerjakan suatu macam perbuatan, yaitu bershadaqah, tetapi nilainya berbeda, sesuai dengan perbedaan niat yang mendorongnya.
Orang yang pertama, nilai shadaqahnya rendah karena menginginkan kemanfaatan duniawi yang pribadi. Jika tidak karena keinginan itu, tentu dia tidak bershadaqah. Maka pendorong yang hakiki, yang ikhlas belum bersemayam di dadanya.
Orang yang kedua nilai shadaqahnya tinggi, karena shadaqahnya karena ikhlas, karena didorong memenuhi hati sanubarinya, yaitu dia memang senang berbuat baik kepada sesama manusia, menjaga kemuliaan mereka dan karena taat kepada Allah serta mencari keridhaan-Nya. Orang semacam ini dapat diharapkan kebaikan yang banyak dan dapat diharapkan pula daripadanya kebaikan-kebaikan yang terus menerus. Dia sumber tetap bagi mereka berhajat. Inilah orang yang digambarkan oleh firman Allah dalam Al Quran:
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyirami, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” Al Baqarah(2):265
Adapun orang yang pertama, yakni yang shadaqahnya karena keinginan duniawi maka digambarkan dalam firman Allah:
“Maka perumpamaannya seperti sebuah batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).” Al Baqarah(2):264
Orang yang kedua, amal ibadahnya berbuah dan orang yang pertama tidak berbuah.
Orang yang shalat ingin agar shalatnya dilihat dan dipuji orang, yakni agar supaya orang-orang menilai bahwa dia orang baik, atau supaya mereka menyerahkan suatu tugas yang menyangkut urusan duniawi serta dia dapat mengambil kemanfaatan duniawi, maka shalatnya sah, tetapi pahalanya tidak sama dengan orang melaksanakan shalat karena Allah semata-mata.
Dengan demikian kita mengetahui makna yang terkandung dalam hadits tersebut di atas: “Bahwa semua amal perbuatan itu tergantung sesuai dengan niatnya”. Maka nilai setiap amal perbuatan itu sesuai dengan nilai niat yang membangkitkannya. Apabila niatnya baik, maka baiklah; apabila niatnya jelek, maka jeleklah; apabila niatnya hina, maka hinalah dan tidak akan terbalik. Inilah art dari ikhtisar hadits tersebut.
Perkataan bahwa: “sesungguhnya amal-amal itu harus dengan niat”, maksudnya bahwa seluruh amal ibadah tidak diakui oleh syara’, melainkan yang disertai dengan niat yang benar-benar untuk beribadah, yakni karena Allah semata-mata.
Jika kita telah mengetahui, bahwa semua amal perbuatan itu sebanding dan sesuai dengan nilai niatnya dan bagi setiap amal perbuatan itu ada balasan bahagia di dunia dan kenikmatan di akhirat atau sebaliknya, maka Rasulallah SAW telah menjelaskan di dalam jumlah kedua dari hadits tersebut yang berbunyi:
“Barangsiapa yang niatnya untuk memperoleh pahala dan keridhaan Allah, maka baginya pahala dan keridhaan-Nya, dan barangsiapa yang niatnya jahat, maka baginya kecelakaan; barangsiapa yang niatnya semata-mata untuk kemuliaan duniawi, maka dia tidak akan mendapat pahala.”
Dan bentuk yang sederhana di dalam hadits ini memberi pengertian, bahwa sesungguhnya amal tanpa niat, maka seseorang tidak akan mendapat sesuatu atau tidak berakibat sesuatu.
Hadits ini mengajak kita mengerjakan berbagai urusan yang luhur lagi tinggi nilainya, menyuruh kita ikhlas di dalam perbuatan taat dan memerintahkan kita berbakti kepada agama. Dan menjelaskan pula bahwa sesungguhnya semua amal perbuatan itu tidak cukup dilihat dari segi lahirnya saja, bahkan yang mendorong melakukannya itulah yang mempunyai pengaruh besar di dalam penilaian rendah dan tingginya dan disiksa atau diberi pahala.
Tambahan redaksi:
Tentu saja hadits ini dikhususkan untuk amal perbuatan yang dibenarkan oleh syara’ (ketentuan Islam). Jadi bila sebuah amal secara lahiriah bertentangan dengan syara’ seperti mencuri, korupsi, menipu; maka ia akan ditolak oleh Allah, terlepas dari niat nya apakah untuk kebaikan atau bukan. Bila sebuah amal sejalan dengan syara’, maka diterima/ditolaknya amalan tersebut tergantung dengan niatnya, bila niat karena Allah semata-mata maka insya Allah akan diterima, bila niatnya selain dari karena Allah maka ia akan ditolak.
Jadi di dalam islam tidak dibenarkan korupsi untuk membangun masjid, mencuri harta orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menipu untuk dapat naik haji. Hal ini diperintah oleh Allah dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak (benar) dengan yang bathil (salah) dan janganlah kamu sembunyikan yang hak (benar) itu, sedang kamu mengetahui.” Al Baqarah(2):42
Obat adalah kebaikan, namun bila obat tersebut dicampur dengan setetes dengan hal yang haram, maka para ulama berpendapat bahwa hal ini termasuk melanggar firman Allah di atas. Wallaahu A’lam.
Share



ISTRI/WANITA SHOLIHAH

ISTRI/WANITA SHOLIHAH Wanita sholihah merupakan dambaan bagi setiap pria, maka sangatlah penting bagi setiap  pria yang hendak menikah...